
Saya pernah bertanya kepada seorang teman, jika Belanda tidak membangun Balai Kota Sukabumi pada tahun 1932-1934, apakah bangsa kita, khususnya orang Sukabumi, dapat membuat bangunan yang sama kokohnya pada awal kemerdekaan?
Pertanyaan tersebut bukan untuk mengolok-olok bangsa sendiri, melainkan sebagai refleksi bahwa Belanda benar-benar ingin menguasai negeri ini sepenuhnya, terlebih jika pada Perang Dunia II, Belanda tidak dikalahkan oleh Jepang dan negaranya diduduki Jerman.
Narasi yang kerap disebarkan Amerika Serikat dan sekutunya seolah menunjukkan bahwa mereka adalah pemenang perang, padahal sejatinya tidak ada yang benar-benar menang dalam peperangan; yang ada justru kerugian besar bagi siapa pun yang terlibat dalam perebutan wilayah jajahan.
Kesungguhan Belanda menguasai wilayah Nusantara tampak dari keseriusan mereka membangun berbagai infrastruktur beserta piranti pendukungnya secara detail. Salah satunya adalah jalur penghubung antara kota-kota yang dianggap penting bagi perekonomian dan perkebunan, seperti Bandung, Sukabumi, dan Pelabuhanratu.
Belanda tidak hanya membangun jalan, tetapi juga memasang Mijlpaal atau patok jarak di titik-titik strategis. Di Sukabumi, salah satu Mijlpaal ini masih dapat dilihat di Selakaso, Lembursitu, KM 7 (sebelum SPBU).
Pembuatan Mijlpaal, meskipun terlihat sederhana untuk ukuran saat ini, sering kali tidak kita maknai secara utuh. Pemerintah kita sendiri kadang tidak pernah benar-benar memahami mengapa Belanda melakukan hal semacam ini.
Pada Mijlpaal Lembursitu tertulis SMI 7, BDG 101, dan PLR 53, menunjukkan jarak dari posisi patok ke pusat Kota Sukabumi, Bandung, dan Pelabuhanratu. Menariknya, setelah saya cek menggunakan Google Maps, angka tersebut sesuai dengan jarak fungsional rute dari patok ke Titik Nol Jl. A. Yani, juga ke Pelabuhanratu dan Bandung. Perlu dipahami, jarak ini bukan garis lurus, melainkan rute aktual yang dipakai pada masa itu.
Pertanyaan sederhana kemudian muncul, mengapa Belanda membuat patok jarak seperti ini? Dengan menelusuri sejarah panjang penguasaan mereka atas kota-kota di Nusantara, tampak jelas bahwa Belanda memiliki alasan kuat.
Mijlpaal membantu mereka memetakan administrasi, menghitung kebutuhan pemeliharaan infrastruktur, serta mengatur kepentingan ekonomi yang ditunjang oleh jalur transportasi darat. Dengan adanya angka jarak, Belanda dapat memperkirakan biaya perbaikan jalan raya atau jalan pos (De Grote Postweg).
Tanggung jawab pemeliharaan menjadi penting karena pemerintah lokal Hindia Belanda tetap harus melapor dan bertanggung jawab kepada pemerintah yang lebih tinggi. Mereka menerapkan aturan administrasi yang ketat.
Ironisnya, bangsa kita saat ini yang mengaku modern dalam hal pemeliharaan jalan justru kembali menerapkan metode paling sederhana dengan menuliskan angka setiap 100 meter pada jalan rusak atau memberi tanda semprotan cat pada lubang jalan. Padahal, sejarah telah memberi contoh bagaimana tata kelola infrastruktur pernah dikelola secara lebih terukur dan konsisten.
Selain itu, Mijlpaal berfungsi untuk mengetahui jarak titik-titik penting yang memudahkan pejabat Pemerintah Hindia Belanda mengunjungi kantor bupati atau pusat administrasi lainnya.
Tiga kota yang tertulis di patok Lembursitu merupakan lokasi penting pada masa kolonial, termasuk Pelabuhanratu atau Palaboehan Ratoe Haven yang sejak abad ke-19 telah diinisiasi sebagai pelabuhan internasional oleh Belanda.
Keberadaan Mijlpaal juga berperan dalam pengaturan transportasi darat, khususnya dalam penetapan tarif resmi angkutan antara Sukabumi dan Pelabuhanratu. Dari sinilah dapat dihitung kebutuhan logistik barang dan pola pergerakan sumber daya manusia yang bepergian melalui jalur tersebut.
Sebelum membuat patok jarak, Belanda terlebih dahulu menentukan titik nol. Untuk Kota Sukabumi, penentuannya berada di lokasi strategis terkait perekonomian atau pusat kota. Dengan demikian, seluruh jarak yang tercantum pada Mijlpaal di Lembursitu dihitung dari titik nol Sukabumi, Bandung, dan Pelabuhanratu.
Mijlpaal dirancang sebagai penanda permanen yang ditempatkan sepanjang rute utama, menjadi bagian dari sistem terukur yang mencerminkan ketelitian administrasi kolonial yang sering kali kita abaikan dalam perkembangan tata kelola infrastruktur masa kini.
Tags
Analisis
