Patung Naga Santiong dan TPA Cikundul



Pada akhir tahun 1997, ketika masih duduk di bangku SMA kelas tiga, saya bersama seorang teman sering melakukan aktivitas berjalan kaki menuju Santiong. Ada dua tujuan utama dari perjalanan itu. Pertama, ingin mengenang pengalaman masa kecil dengan melihat langsung patung naga yang terletak di bagian atas pemakaman Tionghoa Santiong.

Kedua, saya ingin menyaksikan secara langsung Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cikundul yang saat itu dipersiapkan oleh Pemerintah Kotamadya Sukabumi sebagai salah satu infrastruktur perkotaan, menjelang Kecamatan Baros resmi menjadi wilayah pemekaran kota.

Patung naga dapat dikatakan sebagai ikon pemakaman Santiong, meskipun kini kerap dilupakan oleh masyarakat Sukabumi, termasuk oleh warga Tionghoa sendiri. Hal ini disebabkan, bagi sebagian warga, patung naga dianggap tidak memiliki keterkaitan langsung dengan budaya lokal.

Di sisi lain, etnis Tionghoa generasi X dan Y, sebagaimana anak-anak di belahan dunia lain, tengah mengalami degradasi dan segregasi kebudayaan. Penghormatan terhadap tradisi leluhur sering dipandang terlalu tradisional dan dianggap tidak lagi selaras dengan budaya kontemporer.

Fenomena di atas sejalan dengan ungkapan jenaka: di zaman Yunani Kuno, seseorang yang tidak mempercayai Zeus dianggap gila, sedangkan di era modern justru orang yang meyakini eksistensi Zeus-lah yang akan dianggap tidak waras.

Beruntungnya, pada tahun 1997 segregasi budaya belum sekuat hari ini. Saya masih dapat melihat patung naga di bagian atas pemakaman Santiong, meskipun kondisinya sudah kurang terawat. Catnya memudar, tidak lagi dirawat secara serius.

Saat kecil, patung naga itu tampak hidup: berwarna hijau cerah, berkumis panjang melingkar, dengan sorot mata yang tajam. Kontras dengan kondisi tahun 1997, patung tersebut terlihat kusam dan kehilangan keceriaannya.

Saya sempat membayangkan, suatu saat patung naga itu benar-benar akan lenyap, tertutup pepohonan dan rumput liar, atau perlahan dihapus oleh alam sebagai konsekuensi dari “normal baru” dalam kebudayaan Tionghoa yang dipegang generasi X hingga milenial.

Tujuan kedua perjalanan itu adalah mengunjungi TPA Cikundul. Untuk menuju ke sana, saya berjalan lurus dari Santiong, kemudian berbelok ke kanan memasuki area pemakaman dan berjalan sekitar 800 hingga 1.000 meter.

Lahan TPA saat itu masih tampak lengang. Sampah dari wilayah perkotaan mulai dipindahkan ke lokasi tersebut, termasuk relokasi dari TPA Kerkhof. Pada tahun 1997, TPA Cikundul baru beroperasi sekitar dua tahun sejak dibangun pada 1995.

Pengelolaan sampah di TPA Cikundul kala itu masih menggunakan sistem open dumping, meskipun sudah dilengkapi alat berat untuk memadatkan sampah. Sistem sanitary landfill belum diterapkan, padahal konsep tersebut telah dikenal dan digunakan oleh beberapa negara sejak dekade 1930-an.

Ironisnya, konsep lama yang terbukti efektif itu baru ramai dibicarakan di Indonesia sekitar tahun 2015. Keterlambatan ini menunjukkan betapa lambannya upaya menyadarkan masyarakat dan menerapkan sistem persampahan modern secara serius.

Saat itu, saya sempat berdecak kagum melihat kedalaman TPA Cikundul yang mencapai sekitar 20 meter. Dalam pikiran remaja saya, cekungan sedalam itu akan mampu menampung sampah perkotaan hingga setengah abad ke depan.

Kenyataannya jauh berbeda. Tiga dekade kemudian, TPA Cikundul telah berubah menjadi gunungan sampah yang benar-benar overload, melampaui kapasitas yang ditentukan. Meski Dinas Lingkungan Hidup telah membangun TPA baru di wilayah selatan, persoalan tetap tidak selesai ketika pengelolaan sampah tidak dibarengi kesadaran masyarakat yang memadai.

Seberapa luas pun TPA dibangun, ia tidak akan mampu menampung kerakusan manusia yang abai terhadap lingkungannya sendiri. Tumpukan sampah, pada akhirnya, adalah cermin dari ketidakpedulian manusia terhadap alam.

Dari pengalaman itu, setidaknya ada dua tantangan besar yang harus segera dihadapi bersama oleh masyarakat dan Pemerintah Kota Sukabumi hari ini. Pertama, mengembalikan ikon budaya Tionghoa berupa patung naga di pemakaman umum Santiong sebagai bagian dari upaya menghidupkan kembali ingatan kolektif tentang pentingnya merawat tradisi warisan leluhur.

Kedua, membangun kesadaran kolektif dalam pengelolaan sampah, agar persoalan persampahan tidak terus berulang dan menjadi pemicu bencana hidrometeorologi seperti banjir di masa mendatang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak