
Secara global, peralihan dari milenium pertama ke milenium kedua ditandai oleh kekhawatiran Y2K Bug yang konon akan meruntuhkan dan melumpuhkan perekonomian dunia. Namun di dunia lokalitas, dengan beragam varian dan warna-warni tampilan kehidupan, isu itu nyaris tak berlaku. Ia tidak dilirik sama sekali. Apalagi di lokalitas tradisional yang baru saja terlepas dari jeratan krisis moneter sejak 1997, memikirkan perkara yang melangit hanya akan memusingkan kepala.
Yang justru terasa di awal milenium kedua adalah pergeseran dari normal lama menuju cara baru, dengan segudang persoalan remeh-temeh dan tetek-bengek kehidupan. Mulai dari merebaknya judi togel dan Mbah Brojo yang diminati secara diam-diam oleh banyak pihak, karena membuai angan masyarakat dengan iming-iming hadiah, hanya dengan modal seribu rupiah, jika tembus dua angka dalam satu kali pasang, bisa memperoleh Rp60.000.
Pada rentang 2000–2003, kredit kendaraan bermotor mulai menjamur. Seorang anak yang baru menginjak remaja bisa dengan leluasa memamerkan motor baru, tanpa perlu memiliki surat izin mengemudi karena memang belum cukup umur. Aturan memakai helm saat berboncengan di sepeda motor seolah luruh begitu saja. Di sisi lain, media cetak dan elektronik mulai berani memberitakan peristiwa kriminal, dari korupsi hingga pemerkosaan, lengkap dengan gambar dan potret semi vulgar.
Pada masa itu, kebetulan saya sedang bertugas sebagai tenaga pendidik di salah satu sekolah dasar. Maka saya lebih tertarik menyoal dinamika budaya yang terjadi di dunia pendidikan. Hampir tidak ada pergeseran nilai yang benar-benar mencolok, sebab pada awal 2000-an, jarak generasi antara saya dan para siswa masih cukup dekat, generasi X dan Y (milenial) yang berada di kuadran II. Kami masih akrab dengan tradisi, namun di saat yang sama mulai mengenal teknologi terbaru; sebut saja VCD player dan ponsel jadul dengan nada sambung khas nyit-nyit-nyit.
Dinamika budaya pada anak-anak sekolah dasar, terutama kelas lima dan enam, tampak dari cara pandang mereka yang mulai terbuka terhadap kebaruan. Sesuatu yang dulu, ketika generasi X masih duduk di bangku sekolah, hanya bisa disentuh oleh siswa SMA di kota, kini hadir di kampung. Melalui VCD, anak-anak mulai mengenal lagu-lagu Barat lengkap dengan video klipnya. Satu-dua kali, gaya dan adegan kelompok band itu ditiru sebagian siswa, Limp Bizkit, Slipknot, dan kawan-kawan. Para orangtua yang tak begitu mengikuti perkembangan musik memandangnya sebagai hal biasa, sekadar perubahan budaya, dan akhirnya dianggap wajar.
Serbuan budaya asing yang dulu pernah ditakutkan Bung Karno, yang diyakini bisa mencabut jati diri bangsa ternyata datang tidak hanya dari Barat. Dari India pun hadir lewat film-film romantis berdurasi panjang. Di lapak-lapak VCD bajakan, tiba-tiba terdengar lagu-lagu seperti Kuch Kuch Hota Hai, Koi Mil Gaya, dan Humko Humise Chura Lo. Stasiun radio yang bermigrasi dari gelombang AM ke FM pun ikut memutar lagu-lagu India atas permintaan pendengar.
Saat itu saya sempat berpikir, mungkin karena secara genetika sebagian DNA masyarakat kita memang berasal dari dataran Hindustan, maka ada semacam chemistry antara lagu India dan salinan kromosom dalam tubuh masyarakat kita. Jadi meskipun liriknya tak sepenuhnya dipahami, lagu-lagu India tetap terasa enak didengar.
Saya dan teman-teman sebaya sejatinya sudah akrab dengan film dan lagu India sejak kecil. Di stasiun televisi seperti TPI dan ANTV, film-film India rutin diputar setiap akhir pekan. Generasi kami sampai mengenal istilah “polisi India” bagi sosok pahlawan kesiangan, atau julukan sinis bagi oknum polisi yang memperjualbelikan hukum: kayak polisi India. Lagu dan film India semakin digemari setelah sineas Negeri Hindustan piawai mengemas skenario romantis yang membuat penonton seolah sedang mengiris bawang merah hingga berlinang air mata.
Hal itu sebenarnya sangat wajar. Cinta, dengan segala warna dan dramanya, adalah fitur bawaan manusia sejak zaman heubeul. Maka tak heran jika kisah romantis, baik berakhir sedih maupun bahagia, selalu mendapat sambutan. Jika tidak, saya kira Romeo and Juliet karya Shakespeare tak akan menjadi karya besar; ia hanya akan menjadi roman picisan yang dibaca sepintas lalu.
Menjelang kenaikan kelas, baik di sekolah dasar (SD) maupun madrasah diniyah (MD), pihak sekolah biasanya mempersilakan tiap kelas menampilkan bakat siswa: menari, bernyanyi, hingga teater. Untuk pementasan teater dengan format operet, hampir selalu dipercayakan kepada siswa kelas lima dan enam. Fragmen kehidupan anak-anak ditampilkan dalam adegan yang terpenggal-penggal, diiringi lagu-lagu populer masa itu.
Pada babak romantis yang menampilkan sepasang siswa, lagu-lagu India kerap dijadikan sisipan. Salah satu yang paling sering saya dengar sebagai soundtrack operet adalah Humko Humise Chura Lo, lagu yang melejit setelah film Mohabbatein digandrungi masyarakat. Bahkan di dalam kelas, saat jam istirahat, saya pernah mendengar seorang siswa bersenandung pelan, “Humko humise chura lo…”
Saya sendiri bukan tipe manusia yang fanatik pada satu aliran musik. Jika sebuah lagu terasa nyaman dan enak di telinga, ya saya dengarkan. Dalam dunia musik yang saya kenal, ada adagium sederhana: segahar dan segarang-garangnya rocker di kampung, ketika begadang bersama teman-temannya, pada akhirnya ia akan berdangdut ria juga.
Tags
Kolom