
Saya sempat berpikir, pada tahun 90-an, bahaya penggundulan hutan yang menyebabkan longsor atau erosi seolah hanya tercatat dalam buku pelajaran. Dalam keseharian, kejadian tanah longsor jarang terdengar, begitu pula masalah sampah yang dapat memicu banjir. Namun akhir-akhir ini, tanah longsor, erosi, dan banjir menjadi hal nyata. Saya sendiri menyaksikan bagaimana air meluap dari selokan hingga memenuhi jalan.
Perubahan iklim global menjadi perdebatan kompleks, salah satunya terkait tren curah hujan dari masa ke masa. Sebagian pihak berpendapat bahwa total curah hujan global stagnan, berpegang pada hukum kekekalan massa bahwa jumlah air di Bumi tetap sama. Namun data lembaga klimatologi dunia, termasuk BMKG, menunjukkan adanya sedikit peningkatan rata-rata curah hujan global akibat siklus hidrologi yang makin intensif karena pemanasan global.
Benar bahwa jumlah air secara absolut tidak bertambah, air hanya berpindah fase dan lokasi. Walakin istilah “stagnan” menjadi kurang tepat ketika melihat dinamika sistem iklim. Energi panas tambahan di atmosfer mempercepat penguapan, membuat udara menahan lebih banyak uap air, yang pada akhirnya meningkatkan curah hujan rata-rata meski tipis.
Di Indonesia, data historis BMKG menunjukkan curah hujan tahunan berfluktuasi di kisaran 1.500–4.000 mm per tahun. Meski ada tren peningkatan rata-rata sekitar 0,65 mm per tahun sejak 1901 hingga 2020, persoalan utamanya bukan pada kenaikan volume air yang kecil itu, melainkan pada perubahan intensitas dan distribusinya.
Perubahan iklim membuat kejadian hujan ekstrem meningkat drastis. Hujan yang dulu turun merata selama beberapa hari, kini dapat turun dalam hitungan jam. Ketidakmerataan ini menimbulkan paradoks iklim, satu wilayah banjir bandang, sementara wilayah lain kekeringan. Inilah bentuk ketidakseimbangan sistem yang sangat dinamis.
Namun di tengah perdebatan statistik, ada titik temu yang jauh lebih penting yakni persoalan utamanya bukan pada air hujan yang bertambah, melainkan pada kesiapan manusia mengelola air yang jatuh ke permukaan bumi. Krisis yang kita hadapi hari ini, terutama di perkotaan, bukan karena hujan meningkat secara eksponensial, melainkan karena infrastruktur dan perilaku manusia tidak mampu mengelolanya.
Masalah krusial terletak pada bagaimana air hujan diperlakukan ketika menyentuh tanah. Pemukiman modern dan pembangunan masif mengorbankan daerah resapan. Lahan hijau yang berfungsi sebagai spons alami digantikan beton, aspal, dan semen.
Akibatnya, kemampuan bumi menyerap air melemah drastis. Air hujan tidak lagi meresap ke tanah untuk mengisi akuifer, tetapi berubah menjadi aliran permukaan yang besar dan cepat. Ini membebani drainase, selokan, dan sungai yang sering kali tidak dirancang menampung volume air sebesar itu dalam waktu singkat. Luapan pun terjadi dan menyebabkan banjir di pemukiman padat.
Dengan demikian, banjir berulang di berbagai kota bukan semata “bencana alam”, tetapi bencana hidrometeorologi yang diperparah oleh kesalahan tata kelola manusia. Di daerah dengan resapan baik, curah hujan yang sama mungkin tidak menimbulkan banjir sebesar itu.
Selain banjir, berkurangnya resapan juga menimbulkan krisis kekeringan. Ketika air tidak tersimpan di dalam tanah, cadangan air bawah tanah menipis. Pengambilan air tanah yang berlebihan semakin memperparah kondisi, memicu penurunan muka tanah (land subsidence)dan meningkatkan risiko banjir termasuk banjir rob.
Prioritas pembangunan yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek sering mengabaikan keseimbangan ekologis jangka panjang. Regulasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) kerap dilanggar atau diabaikan. Manusia seolah lupa bahwa sistem hidrologi bumi bergantung pada keseimbangan yang rapuh. Dengan membeton permukaan tanah, kita merusak keseimbangan itu.
Solusinya berakar pada perubahan sikap dan tindakan kolektif. Air hujan tidak boleh lagi diperlakukan sebagai ancaman yang harus segera dibuang ke laut, tetapi sebagai sumber daya vital yang perlu dikelola dan disimpan.
Konsep infrastruktur hijau dan pembangunan hijau harus diterapkan secara serius mulai dari pembangunan taman kota, sumur resapan, kolam retensi, biopori, hingga penguatan kawasan konservasi di hulu. Reklamasi dan pembangunan di kawasan sensitif harus dihentikan.
Di tingkat individu, langkah sederhana seperti tidak membuang sampah ke saluran air sangat penting. Selokan yang tersumbat memperparah banjir lokal meski curah hujannya tidak ekstrem.
Satu-satunya jalan ke depan adalah perubahan paradigma, membenahi tata kelola lahan, memperkuat resapan, dan bersikap bijak terhadap lingkungan, Inilah kunci keberlanjutan hidup di satu-satunya planet yang kita miliki.
Tags
Analisis

