
Saya pertama kali mengenal istilah batas kota saat duduk di kelas lima sekolah dasar, melalui lagu Senja di Batas Kota yang dinyanyikan Ernie Djohan. Wujud nyata batas kota itu baru betul-betul saya lihat ketika memasuki bangku SMP, karena Cikujang merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi. Tepat di depan SMP Negeri 3, berdiri tugu batas kota yang saat itu menjadi penanda paling jelas antara dua wilayah administratif.
Sejauh yang saya amati, istilah batas kabupaten jarang terdengar. Alasannya sederhana, batas kota pada masa lalu bukan hanya penanda administrasi, tetapi juga semacam garis pembeda antara pola hidup modern dan tradisional.
Pembeda itu semakin ditegaskan melalui tugu, gapura, atau monumen, simbol-simbol yang dibangun pemerintah kota untuk menampilkan kesan modernitas. Di banyak kota, berdiri gapura megah bernilai miliaran rupiah hanya untuk menegaskan bahwa “di sinilah batas kota kami”.
Berbeda dengan di Indonesia, kota-kota di Eropa tidak menasbihkan batas wilayahnya melalui gapura raksasa. Penanda batas kota di sana umumnya berupa patok kecil, atau papan sederhana bertuliskan nama kota.
Dalam banyak kasus, terutama saat berpindah dari satu kota ke kota tetangga dalam satu aglomerasi perkotaan atau saat melintasi perbatasan internal Uni Eropa (Schengen Area), peralihan antar wilayah bisa terasa mulus tanpa penanda fisik yang mencolok sama sekali. Fokusnya lebih pada kontinuitas infrastruktur dan administrasi.
Identitas mereka justru ditampilkan melalui monumen-monumen yang dibangun di dalam kota, bukan di tepiannya. Batas negara memang pernah menjadi isu besar, seperti yang terjadi pada Jerman saat terpecah menjadi blok Barat dan Timur.
Namun setelah bersatu kembali, Tembok Berlin justru dihancurkan oleh rakyatnya sendiri, sebuah simbol bahwa pemisahan itu tidak lagi relevan.
Pendekatan tersebut mencerminkan fokus pada fungsionalitas, integrasi regional, dan sering kali, sejarah perkembangan perkotaan di mana kota-kota tumbuh dan meluas secara organik tanpa memerlukan struktur pertahanan atau seremonial yang besar di batas luar mereka.
Pembangunan tugu batas kota sebenarnya adalah bentuk pengakuan tak kasat mata, semacam ikrar laten: “Ini wilayah kami, batasnya sampai di sini.” Secara tidak langsung, penegasan semacam ini justru bertentangan dengan upaya memperluas wilayah atau pemekaran kota.
Jika sebuah kota ingin mengajak wilayah sekitar untuk bergabung, logika yang tepat adalah meniadakan sekat, bukan mempertebalnya. Pemikiran jernih seperti ini penting agar warga di luar batas administratif merasa tertarik menjadi bagian dari kota, seperti halnya warga Jerman Timur yang memilih menyatu pasca runtuhnya tembok pemisah ideologi.
Dalam masyarakat Nusantara, sisa-sisa pola pikir kerajaan tampaknya masih melekat kuat. Meski gelar mereka telah berubah menjadi bupati, wali kota, atau gubernur, citra diri khas para raja masih tampak dalam praktik pengelolaan wilayah.
Demokrasi yang kita banggakan pun acapkali diderai berbagai praktik pragmatis, sehingga hanya menjadi tangga menuju singgasana kekuasaan, bukan ruang meritokrasi yang sesungguhnya.
Era kerajaan ditandai oleh kecenderungan para raja membangun tugu di perbatasan, dan melakukan perluasan wilayah melalui ekspansi, bukan dengan menumbuhkan simpati agar warga tetangga mau bergabung secara sukarela.
Cara semacam itu wajar di masa lalu, namun menjadi kurang relevan ketika diterapkan dalam pemerintahan modern yang seharusnya lebih inklusif, adaptif, dan berorientasi pada pelayanan publik.
Namun apa daya, pola pikir kita masih sering berkutat di wilayah yang sama dengan Eropa pada abad kegelapan. Karena itu, tidak mengherankan jika baik pemerintah maupun masyarakatnya masih kerap haus pengakuan dan pujian.
Pada masa itu, Eropa hidup dalam semangat egosentrisme dan pencarian legitimasi, suatu kondisi yang, sayangnya, masih sering tercermin dalam cara kita menata ruang sebuah kota.
Tags
Kolom


