-->


Membayangkan Masa Depan Kota Sukabumi, antara Cita dan Realita

Posting Komentar


Bagaimana masa depan Kota Sukabumi, misalnya dua puluh tahun ke depan, ketika Indonesia digadang-gadang akan memasuki masa “Indonesia Emas”? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, namun bukan berarti tak bisa diprediksi. Setidaknya, masa depan bisa dianalisis dengan mengamati sejumlah fakta sosial, ekonomi, dan ekologis hari ini.

Masa depan bukan ruang kosong, ia dibentuk dari kebiasaan dan keputusan masa kini. Dalam renungan ini, saya teringat pada dua tokoh peramal besar yaitu Nostradamus di Eropa dan Prabu Jayabaya di tanah Jawa. Keduanya menulis ramalan yang kini terasa seperti cermin dari keadaan zaman yang edan, di mana petaka, krisis moral, dan kehancuran lingkungan menjadi keniscayaan.

Ramalan mereka sering dianggap mistik, padahal jika dibaca dengan hati-hati, keduanya hanya menggunakan logika sejarah, bahwa setiap peradaban yang terlalu yakin pada dirinya sendiri, cepat atau lambat akan menuju titik kejatuhan. Seolah-olah ramalan itu bukanlah nubuat gaib, melainkan bentuk kritik sosial terhadap arah manusia yang lupa pada keseimbangan hidup.

Dalam konteks ini, masa depan Kota Sukabumi juga perlu direnungkan, apakah ia akan menjadi kota yang ramah bagi manusia dan alam, atau justru tenggelam dalam kegaduhan pembangunan tanpa arah?

Tiga puluh tahun lalu, generasi saya yang tumbuh di era 1980–1990-an sering membayangkan masa depan sebagai sesuatu yang gemerlap. Kami percaya bahwa teknologi akan membuat hidup lebih mudah, pendidikan lebih maju, dan kesejahteraan lebih merata. Namun, kini setelah memasuki masa depan itu sendiri yakni masa kini banyak dari kami justru ingin kembali ke masa lalu.

Kerinduan itu bukan karena romantisme yang berlebihan, tetapi karena kami merasakan bahwa masa kini kehilangan nilai-nilai luhur yang dulu kami anggap biasa, kejujuran, gotong royong, dan kesederhanaan. Kenangan masa lalu terasa lebih jujur dibandingkan realitas sekarang yang penuh kepalsuan dan kompetisi tak berujung. Seperti yang pernah dikatakan Bertrand Russell, manusia modern berpura-pura bahagia di tengah kekosongan makna yang mereka ciptakan sendiri.

Atas dasar itulah para peramal dan futuris bisa “melihat” masa depan. Mereka membaca tanda-tanda zaman. Jayabaya dan Nostradamus tidak berbicara soal angka dan tahun, tetapi tentang pola perilaku manusia yang mengulang kesalahan yang sama. Dan jika kita berkaca dari situ, masa depan Kota Sukabumi pun mungkin tak akan jauh berbeda dari kondisi saat ini karena perubahan sejati membutuhkan kesadaran kolektif, bukan hanya pembangunan fisik.

Pemerintah sering kali berbicara tentang Generasi Emas 2045, seolah-olah masa depan itu akan datang dengan sendirinya. Namun faktanya, tanda-tanda keemasan itu belum tampak jelas. Kualitas pendidikan stagnan, lapangan kerja semakin sempit, dan ruang hijau kota makin menyusut. Kita bisa saja optimis, tetapi hukum alam selalu berjalan apa adanya segala sesuatu yang menua cenderung melemah dan rusak.

Dalam skala yang lebih luas, umat manusia justru sedang mempercepat proses kerusakan itu. Dengan dalih kemajuan teknologi, manusia membangun kota-kota besar yang memakan hutan, mengeringkan sungai, dan mencemari udara. Mereka menciptakan mesin demi efisiensi, namun pada saat bersamaan mempercepat penyakit dan kepunahan spesies.

Maka, pertanyaan penting bagi Kota Sukabumi adalah apakah kita sedang menuju masa depan yang benar-benar lebih baik, atau sekadar memperindah jalan menuju krisis baru? Kota ini dahulu dikenal sebagai kota yang sejuk, damai, dan penuh keseimbangan. Namun dalam satu dekade terakhir, suhu udara meningkat, polusi bertambah, dan ruang publik semakin sempit.

Sejarah mencatat, manusia sering kali mencoba memperbaiki masa depan dengan membuat sistem baru; baik sistem politik, ekonomi, maupun agama. Tujuannya mulia, agar manusia menjadi lebih baik. Namun dalam praktiknya, sistem itu sering disalahgunakan. Religi dijadikan alat kekuasaan, politik menjadi arena perebutan kepentingan, dan ekonomi menjadi mesin keserakahan.

Jika kita memandang dari kacamata ekologi, Sukabumi pun menghadapi dilema yang sama. Di satu sisi, pembangunan infrastruktur dianggap tanda kemajuan; walakin di sisi lain, banyak lahan hijau yang berubah menjadi beton. Air tanah semakin berkurang, dan anak-anak tumbuh tanpa mengenal sawah, sungai, dan kebun seperti generasi sebelumnya.

Masa depan Kota Sukabumi seharusnya tidak hanya diukur dari banyaknya gedung dan jalan, tetapi dari seberapa sehat warganya, seberapa bersih udaranya, dan seberapa bahagia masyarakatnya hidup berdampingan. Sebuah kota yang baik adalah kota yang menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan ekologis.

Ramalan Jayabaya tentang “zaman edan” terasa relevan kini. Orang-orang sibuk mengejar status sosial dan kemewahan, sementara kejujuran dan empati semakin langka. Untuk bertahan hidup, seseorang harus “ikut edan”, kalau tidak akan dianggap ketinggalan zaman. Tetapi bukankah keedanan massal inilah yang justru membawa dunia ke jurang kehancuran moral?

Di tingkat global, kita menyaksikan ironi yang sama. Amerika Serikat berbicara tentang Hak Asasi Manusia, sementara sekutunya, Israel, menindas anak-anak Palestina. Di level lokal, banyak pejabat berbicara tentang kesejahteraan rakyat, tetapi pesta pora di hotel dan restoran mewah tetap berlangsung tanpa malu.

Dalam suasana seperti ini, masa depan Kota Sukabumi akan sangat ditentukan oleh kebijaksanaan moral dan visi ekologis para pemimpinnya. Pemimpin yang sejati bukan hanya membangun gedung dan jalan, tetapi juga membangun kesadaran, menanam nilai, dan memelihara harapan warganya agar tidak kehilangan arah di tengah arus globalisasi.

Dua puluh tahun dari sekarang, mungkin kita tidak bisa memastikan apakah Sukabumi akan menjadi kota emas atau kota yang kehilangan jati dirinya. Namun satu hal pasti, masa depan adalah cermin dari pilihan yang kita buat hari ini. Jika hari ini kita hidup dengan keserakahan, maka masa depan akan mengajarkan kita tentang kehilangan. Tetapi jika hari ini kita menanam kebaikan, kejujuran, dan kepedulian terhadap alam, maka di sanalah sesungguhnya masa keemasan itu akan tumbuh.
Kang Warsa
Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.
Terbaru Lebih lama

Informasi Lainnya

Posting Komentar

Berlangganan