
Adagium tentang merokok di atas sengaja saya korelasikan dengan ungkapan populer yang dikemukakan oleh René Descartes: Cogito Ergo Sum, Aku berpikir, maka aku ada. Intinya, setiap tindakan manusia berakar pada hasrat untuk diakui keberadaannya.
Sejak era pencerahan di Eropa, gagasan tentang eksistensialisme tumbuh menjadi arus besar yang menandai kebangkitan kesadaran individual manusia terhadap dirinya sendiri. Namun, bagi sebagian pihak, terutama kalangan agamawan pada masa itu, konsep eksistensi manusia justru dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan dogma dan otoritas keagamaan.
Walakin, saya tidak bermaksud memperdalam diskursus panjang antara para filsuf dan pihak gereja yang pada akhirnya melahirkan pemisahan antara “kerajaan Tuhan di langit” dan “kehidupan makhluk di bumi” dalam format sekuler.
Titik utama yang hendak saya elaborasi adalah tentang keinginan manusia untuk diakui keberadaannya, sebuah naluri dasar yang melekat pada setiap insan. Dalam konteks ini, dorongan eksistensial bukan semata-mata soal gengsi atau pengakuan, tetapi juga upaya manusia mempertahankan spesiesnya melalui kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial yang terus berubah.
Fenomena yang baru-baru ini terjadi di dunia pendidikan kita mencerminkan persoalan eksistensi itu dalam bentuk lain. Kasus siswa yang tertangkap basah merokok di lingkungan sekolah, kemudian mendapat tamparan dari kepala sekolah, menyulut kontroversi publik.
Ironisnya, peristiwa tersebut justru diperkeruh oleh beberapa pihak yang seharusnya menjadi penengah, namun malah memprovokasi opini dengan narasi yang memperkeruh keadaan. Akibatnya, muncul aksi mogok sekolah yang dilakukan para siswa, satu tindakan yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila etika dan moralitas keagamaan masih dijunjung tinggi.
Saya tidak bermaksud mendiskreditkan generasi muda. Mereka, para siswa, masih berada pada fase labilitas psikologis yang mudah dipengaruhi oleh emosi dan keadaan. Namun mau tak mau, kita harus mengakui bahwa sebagian besar anak-anak di negeri ini lebih menikmati suasana sekolah sebagai tempat bersantai ketimbang ruang belajar yang sesungguhnya. Fakta sederhana dapat kita lihat: mereka lebih gembira mendengar bel istirahat daripada bel tanda masuk kelas.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa sejak era reformasi jumlah perokok aktif justru meningkat, bahkan di kalangan anak-anak sekolah dasar hingga pelajar SMA? Ada banyak faktor, namun menurut saya ada dua penyebab utama.
Pertama, konsep Hak Asasi Manusia (HAM) sering ditafsirkan secara serampangan tanpa diimbangi otoritas moral yang kuat. Akibatnya, muncul tafsir kebebasan yang absurd dan tanpa batas.
Sejak awal 2000-an, kita mulai mendengar anak-anak sekolah yang berani berkata, “Ini hak kami!” untuk membenarkan segala tindakan, termasuk merokok. Sementara itu, otoritas moral masyarakat kian melemah.
Dahulu, figur seperti ajengan, ketua RW, kepala desa, polisi, atau tentara menjadi penegak norma yang dihormati. Kini, kharisma mereka memudar dan digantikan oleh otoritas oral, semua orang merasa berhak berbicara atas nama kebebasan, tanpa kendali moral yang memadai.
Kedua, kontrol sosial di masyarakat kita semakin lemah. Banyak perilaku menyimpang dibiarkan karena alasan klasik: “Zamannya sudah begini.” Orang yang berusaha melarang atau menegur justru sering dianggap sebagai pengganggu kebebasan orang lain.
Padahal, menilik dari akar katanya, “anak” atau dalam bahasa Sunda budak, adalah sosok yang belum memiliki kemerdekaan penuh; mereka masih dalam tahap pembentukan karakter dan butuh bimbingan. Lemahnya kontrol sosial ini berbanding lurus dengan sikap permisif, masa bodoh, dan tak acuh terhadap penyimpangan yang terjadi di sekitar kita.
Akibatnya, guru yang bersikap tegas terhadap murid seringkali justru terseret ke ranah hukum. Ironisnya, sebagian orang tua malah memperkeruh suasana, alih-alih mendukung penegakan disiplin. Mereka tanpa sadar telah menjadi bagian dari orkestrasi kemerosotan otoritas moral dan kontrol sosial yang kian rapuh.
Dulu, dalam masyarakat Sunda, cukup dengan ungkapan “pamali” atau “doraka” seseorang akan berhenti berbuat salah. Kini, ketika kata itu diucapkan, anak-anak hanya bertanya polos, “Apa itu pamali?”
Dan di sinilah eksistensialisme kita hari ini menemukan bentuk barunya. Bukan lagi Aku berpikir maka aku ada, melainkan tergantikan oleh Kami merokok, maka kami ada. Sebuah pernyataan simbolik dari generasi yang mencari jati diri di tengah kekosongan nilai dan melemahnya kontrol sosial.
Padahal, keberadaan manusia tidak perlu dibuktikan lewat simbol perlawanan semu semacam itu. Kita tetap ada, bahkan tanpa harus menyatakan keberadaan kita secara keras. Karena, sejatinya manusia sudah menempati puncak tertinggi dalam rantai kehidupan, tinggal bagaimana ia menjaga martabat kemanusiaannya agar tidak terjerembab dalam asap eksistensi yang menyesakkan.
Posting Komentar
Posting Komentar