-->


Pemanasan Baru Dimulai

Posting Komentar


Forum-forum yang membahas isu lingkungan terus digelar sejak tahun 1970-an. Seolah para ilmuwan dan tokoh dunia benar-benar peduli terhadap masa depan planet ini, terutama tentang keberlangsungan kehidupan di Bumi.

Salah satu isu paling krusial yang dibicarakan dalam berbagai panel antarnegara adalah peningkatan suhu rata-rata harian Bumi. Data menunjukkan bahwa selama periode 2025–2029, suhu global diperkirakan meningkat antara 1,2 hingga 1,9 derajat Celsius.

Angka ini terlihat kecil, namun jika dibandingkan dengan suhu rata-rata sebelum revolusi industri abad ke-18, peningkatan tersebut tergolong sangat signifikan dan mengkhawatirkan.

Pertanyaan yang sering muncul di benak banyak orang hari ini adalah, mengapa cuaca terasa jauh lebih panas dibandingkan beberapa dekade lalu? Bukan hanya kota-kota besar seperti Jakarta, tetapi juga daerah yang dulu sejuk seperti Sukabumi kini merasakan peningkatan suhu yang nyata.

Sukabumi memang masih relatif lebih sejuk dengan suhu rata-rata sekitar 26 derajat Celsius, namun peningkatan sedikit saja sudah cukup membuat udara terasa menyengat. Jakarta bahkan mencatat suhu hingga 33 derajat Celsius. Ketika saya berkunjung ke sana beberapa waktu lalu, panasnya udara membuat tubuh seolah bermandikan keringat.

Dan kini, ketika artikel ini ditulis, suhu Sukabumi telah mencapai 28 derajat Celsius dan diperkirakan naik lagi menjelang tengah hari. Artinya, prediksi para ilmuwan tentang kenaikan suhu harian bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan yang kita alami langsung.

Bagi manusia, kenaikan suhu satu atau dua derajat mungkin tidak terlihat mengancam. Namun, bagi makhluk hidup lain, perubahan sekecil itu bisa menjadi perbedaan antara hidup dan mati. Kenaikan suhu memengaruhi keseimbangan ekosistem, dari laut hingga kutub. Es mencair, permukaan air laut naik, dan banyak spesies kehilangan habitat alaminya.

Semua itu berlangsung perlahan, sering kali tanpa kita sadari. Ketidaksadaran itu tumbuh karena manusia merasa masih hidup nyaman di antara pepohonan hijau dan udara segar. Padahal, jika kesadaran menjaga lingkungan hanya berhenti pada tataran wacana, bukan tindakan nyata seperti melestarikan vegetasi alami, maka ketidaksadaran itu akan berubah menjadi kebodohan kolektif. Kita mungkin baru tersadar ketika tanah kelahiran ini sudah rusak parah oleh tangan tuannya sendiri.

Dalam sisi lain kehidupan, bangsa ini memang kurang beruntung dalam urusan politik. Kerakusan para politisi membuat Indonesia yang kaya raya justru harus berjalan pincang. Negeri yang semestinya bisa menikmati kemakmuran malah menjadi arena pertarungan kepentingan segelintir elit yang menimbun sumber daya alam.

Walakin, di tengah kepedihan itu, kita masih punya alasan untuk bersyukur. Indonesia masih diberkahi kekayaan alam yang melimpah, hutan tropis yang luas, dan beragam vegetasi yang menjadi paru-paru dunia. Itulah modal terbesar kita untuk bertahan di tengah hiruk pikuk kerakusan global, di antara manusia-manusia yang kehilangan nurani, tetapi masih berlagak sebagai penyelamat Bumi.

Kenaikan suhu global bukan terjadi karena meteor jatuh atau karena intensitas sinar matahari yang meningkat. Penyebab utamanya adalah keserakahan manusia sendiri. Kita menggali, membakar, dan menguras isi perut bumi tanpa henti atas nama pembangunan dan kesejahteraan.

Padahal, kebutuhan dasar manusia sebenarnya bisa terpenuhi jika pengelolaan sumber daya dilakukan secara adil. Ironisnya, di satu sisi berton-ton beras disimpan di gudang segelintir orang, sementara di sisi lain ribuan warga harus berebut hanya untuk mendapatkan satu liter beras demi kelangsungan hidup. Dari sini tampak jelas bahwa pemanasan global tidak hanya merusak ekosistem alam, tetapi juga ekosistem sosial dan moral manusia.

Jika manusia terus bersikap masa bodoh, maka alam akan mengambil alih kendali. Alam memiliki cara tersendiri untuk menyeimbangkan dirinya, sebuah “reset” alami yang tidak membutuhkan persetujuan siapa pun.

Mungkin saat itu, sebagian kecil manusia akan tersisa, atau mungkin tidak ada lagi tempat bagi kita sama sekali. Alam bisa saja memilih makhluk lain yang lebih mampu beradaptasi, yang hidup dengan kesederhanaan, tanpa menimbun dan tanpa menipu. Mereka yang hidup dengan keseimbangan dan tidak berlebihanlah yang akan bertahan.

Kita tidak tahu kapan titik balik itu akan terjadi. Tetapi setiap kali udara terasa semakin panas, setiap kali air sungai berkurang debitnya, dan setiap kali hutan ditebang tanpa ampun, sesungguhnya alam sedang memperingatkan kita.

Pemanasan global adalah panggilan agar manusia berhenti memperlakukan Bumi seperti tambang tak berujung. Karena pada akhirnya, saat Bumi benar-benar lelah, yang akan terbakar bukan hanya hutan dan udara, melainkan juga nurani manusia yang telah lama kering oleh keserakahan.

Sumber gambar: unsplash
Kang Warsa
Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.
Terbaru Lebih lama

Informasi Lainnya

Posting Komentar

Berlangganan