
Aksi unjuk rasa yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 menyisakan banyak pertanyaan mendasar tentang arah perjalanan bangsa ini.
Istriku yang pernah ke Jerman menyampaikan pandangan orang-orang di sana yang menohok: “Kami di Jerman lebih memilih diam dan mengikuti irama alam. Kebebasan berekspresi memang hak setiap warga, tetapi hak tersebut dibatasi oleh tanggung jawab sosial dan penghormatan terhadap hak orang lain.”
Ia menambahkan bahwa apa yang tengah terjadi di Indonesia sejatinya bukanlah hal baru dalam sejarah umat manusia, melainkan pengulangan siklus yang pernah dialami Jerman dan negara-negara maju lainnya pada masa kegelapan berabad-abad lalu.
Pernyataan tersebut terasa seperti cermin yang memantulkan wajah bangsa ini: penuh gejolak, emosional, dan terkadang kehilangan kendali.
Sejarah, kata orang Prancis, l’histoire se répète, sejarah selalu berulang. Dalam banyak kesempatan, saya sering berpendapat bahwa negara-negara berkembang saat ini tengah bergerak mundur di lini masa sejarah, seperti kembali ke masa lima abad lalu ketika Eropa dikuasai feodalisme, menjadikan agama sebagai bungkus dan tameng, serta kerakusan kaum aristokrat.
Upaya bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita luhur pembangunan nasional seolah terbentur pada realitas sejarah yang tak bisa dipaksa.
Fenomena ini tampak jelas dalam perilaku elit negeri ini. Kaum “panggede”, dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif sering kali terjebak pada perspektif sempit, menganggap kekuasaan hanya urusan hari ini, tanpa belajar dari sejarah. Revolusi Perancis abad ke-18 menjadi pelajaran penting yang tampaknya diabaikan.
Kala itu, rakyat bangkit melawan kesewenang-wenangan aristokrat dan kebijakan pajak yang mencekik. Marie Antoinette dan bangsawan lain hidup dalam pesta pora, sementara negara mengalami defisit.
Ketidakadilan memicu revolusi, pengadilan rakyat, hingga lahirnya era teror yang menyeret banyak nyawa. Jika para penguasa negeri ini mau merenung sejenak, mereka mungkin akan lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pajak, kenaikan tunjangan, atau regulasi yang menyangkut kepentingan rakyat.
Namun, menyalahkan penguasa saja tidak cukup. Rakyat di negara-negara dunia ketiga juga memikul tanggung jawab atas mudahnya mereka dimanipulasi.
Kecenderungan untuk bereaksi tanpa verifikasi membuat provokasi cepat menyebar. Media sosial menjadi medium yang memperbesar amarah, mengendapkan kebencian, dan akhirnya meledak dalam aksi massa yang merusak fasilitas publik serta merugikan banyak pihak.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh budaya konsumtif dan “flexing” di kalangan masyarakat kelas atas dan menengah. Gaya hidup mewah yang dipamerkan di media sosial menciptakan jurang sosial sekaligus memicu rasa iri.
Fenomena ini mengingatkan pada masyarakat Perancis pra-Revolusi, ketika rakyat jelata terpesona oleh busana mewah para bangsawan dan berusaha meniru gaya hidup mereka meski hanya dengan barang imitasi.
Aksi unjuk rasa yang meletus pada 25 Agustus 2025 sepatutnya dilihat secara lebih mendalam. Pertanyaan besar tentang siapa dalang intelektual di balik kerusuhan seolah tidak pernah terjawab.
Pemerintah sering kali hanya mengeluarkan asumsi liar tanpa keberanian mengungkap kebenaran. Sejarah Indonesia sendiri penuh dengan tragedi berdarah akibat konflik politik, seperti kudeta G30S/PKI dan kerusuhan 1998, yang memakan banyak korban jiwa dan meninggalkan luka mendalam bagi bangsa, terutama bagi etnis Tionghoa.
Namun, ada pelajaran berharga dari peristiwa politik masa lalu, salah satunya sikap kenegarawanan Gus Dur yang memilih mundur untuk menghindari perang saudara. Kesadaran historis semacam ini tampaknya semakin langka.
Pola kerusuhan setiap 25-30 tahun sekali mencerminkan adanya siklus generasi yang mudah dimanipulasi karena minim ikatan dengan peristiwa masa lalu.
Generasi muda kerap menjadi peluru dalam perebutan kekuasaan, sementara aktor intelektual di balik layar meraup keuntungan dari pergolakan sosial.
Jika menelusuri lebih jauh, kerusuhan 2025 memiliki pola yang mirip dengan peristiwa 1998. Pembakaran fasilitas umum, kerugian ekonomi, dan korban jiwa menjadi konsekuensi dari gejolak politik yang disokong kekuatan modal.
Sejarah dunia pun membuktikan bahwa revolusi tidak pernah murni gerakan rakyat. Revolusi Prancis hingga Perang Dunia I dan II diwarnai campur tangan kelompok elite finansial dan jaringan politik global. Di negara dunia ketiga, bahkan uang seribu rupiah pun bisa memicu konflik berdarah.
Semua ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia perlu melakukan refleksi historis yang mendalam. Kita tidak bisa terus-menerus terjebak dalam siklus sejarah yang sama.
Penguasa harus belajar dari tragedi masa lalu, sementara rakyat perlu meningkatkan literasi dan kesadaran sosial agar tidak mudah dimanfaatkan. Jika tidak, negeri ini akan terus berputar di lingkaran masa kegelapan, jauh dari cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya.
Posting Komentar
Posting Komentar