
Permasalahan krusial yang dihadapi Pemerintah Kota Sukabumi pada masa kepemimpinan Wali Kota Mohamad Muraz dan Wakil Wali Kota Achmad Fahmi adalah pembangunan Pasar Pelita. Rencana renovasi bangunan pasar yang dianggap sudah tua ini mulai dibahas pada 2014, satu tahun setelah pasangan tersebut dilantik sebagai pemenang Pilkada 2013.
Setelah melalui proses pertemuan dengan DPRD Kota Sukabumi, pemerintah memutuskan melakukan lelang proyek renovasi dengan nilai Rp296 miliar. Angka ini dipandang fantastis dan memicu pertanyaan publik mengenai validitas hasil uji kelayakan bangunan. Sebagian masyarakat bahkan menilai penetapan status bangunan layak rehabilitasi hanya menjadi dalih untuk melaksanakan renovasi.
Di balik rencana renovasi ini, berkembang wacana mengenai potensi bancakan proyek oleh berbagai pihak karena besarnya nilai anggaran. Masalah lain yang tak kalah penting adalah minimnya kajian komprehensif tentang relokasi pedagang Pasar Pelita.
Ketidaksiapan relokasi ini berpotensi menimbulkan persoalan baru, seperti pedagang yang tergusur akhirnya berjualan di jalanan dan trotoar, yang sejatinya tidak diperuntukkan sebagai lapak. Kondisi tersebut dipastikan memengaruhi wajah pusat Kota Sukabumi selama periode 2013–2018, terutama saat bulan Ramadan dan hari-hari besar, ketika aktivitas masyarakat di pasar tradisional meningkat.
Dari sisi estetika kota, penataan pedagang di kawasan Pasar Pelita seharusnya dilakukan secara terukur, bukan sekadar memindahkan lokasi. Fakta di lapangan membuktikan, selama empat tahun kepemimpinan Muraz-Fahmi, meskipun Kota Sukabumi berhasil meraih Piala Adipura, wajah kawasan Pasar Pelita tetap semrawut.
Proses renovasi pasar yang berlarut-larut, aktivitas bongkar muat barang, jalanan kotor dan berdebu saat panas, hingga pedagang yang berjualan di trotoar dan bahu jalan menambah kesan ironis bagi kota yang diklaim berprestasi di bidang lingkungan.
Persoalan hukum yang sempat menyeret salah seorang mantan kepala dinas terkait kasus Pasar Pelita hanyalah bagian kecil dari dampak sosial yang ditimbulkan. Renovasi yang tidak tepat sasaran telah mengorbankan hak pejalan kaki, merugikan pedagang kecil, dan memberi keuntungan bagi segelintir manusia tak bermoral yang berfoya-foya di atas penderitaan orang lain.
Fenomena seperti ini lazim terjadi di negara-negara terbelakang. Sukabumi kala itu pun tidak bisa disebut sebagai kota berkembang, melainkan kota terbelakang, sebuah realitas pahit di mana nilai seseorang ditentukan bukan oleh kapasitas dan integritas, melainkan oleh keberanian mengintimidasi orang lain.
Struktur sosial semacam ini menciptakan lingkungan yang sarat ketidakadilan, korupsi, dan pengkhianatan. Kota seperti ini dapat diibaratkan seperti Gotham dalam dunia fiksi: kekuasaan di tangan Penguin, bisnis dikuasai Sal Maroni, intelektual diwakili oleh Nigma, penegak hukum seperti Harvey Dent, dan seni yang diwakili Joker, semuanya tercemar. Ketika seluruh sistem sakit parah, idealnya muncul figur pengadil seperti Batman, namun di kota terbelakang, figur semacam itu justru memilih diam dan tunduk pada keadaan.
Kesimpulannya, pembangunan Pasar Pelita tidak hanya menyisakan persoalan teknis dan administratif, tetapi juga memperlihatkan wajah buram sebuah kota yang sedang terjebak dalam lingkaran kepentingan kelompok elit. Proyek ini menjadi pekerjaan rumah besar yang akan diwariskan ke generasi mendatang, sekaligus cermin kegagalan moral dan kepemimpinan kota yang membiarkan ketidakadilan berlangsung tanpa perlawanan.
Posting Komentar
Posting Komentar