Pembangunan seringkali dianggap sebagai solusi atas permasalahan perkotaan, namun kenyataannya tidak jarang justru melahirkan masalah baru. Di kota-kota negara dunia ketiga, pembangunan kerap berlangsung tanpa perencanaan yang holistik. Paradigma yang diterapkan masih sebatas tambal sulam dan diarahkan untuk memenuhi visi-misi politik jangka pendek, bukan sebagai upaya menyeluruh untuk menjawab persoalan kota.
Ambivalensi pun muncul. Di satu sisi, para pemangku kepentingan berupaya menyelesaikan masalah lingkungan dan sosial. Namun di sisi lain, pembangunan yang digadang-gadang sebagai solusi justru menghadirkan tantangan baru. Hal ini tampak jelas pada banyak proyek infrastruktur yang hanya menyelesaikan satu masalah, tetapi sekaligus menimbulkan masalah lain.
Contoh sederhana adalah pembangunan jalan lingkungan. Dengan dalih meningkatkan aksesibilitas warga, rabat beton dijadikan pilihan utama. Hasilnya, jalan tanah yang sebelumnya becek saat musim hujan berubah menjadi jalur yang rapi dan bisa dilalui kendaraan bermotor. Bagi sebagian warga, ini adalah kemajuan besar.
Namun, kebermanfaatan tersebut ternyata berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah kendaraan yang melintas. Jalan yang mulanya tenang kini dipadati lalu lintas roda dua, menimbulkan polusi udara maupun kebisingan. Akustik lingkungan yang dulu masih alami berubah lebih bising, bahkan lebih buruk daripada ketika jalan masih berupa tanah.
Masalah lain pun muncul akibat rabat beton. Hilangnya lahan resapan air membuat sistem tata air di pemukiman terganggu. Ketika banyak permukaan dibeton, air hujan yang sebelumnya meresap ke dalam tanah kini melimpas menjadi genangan, memperbesar risiko banjir.
Pada era kepemimpinan Udin Koswara hingga Muslikh Abdussyukur, kawasan Baros, Cibeureum, dan Lembursitu jarang mengalami banjir. Air hujan relatif mudah terserap oleh tanah. Namun sejak tahun 2013, perubahan wajah pembangunan membuat kawasan ini kerap dilanda banjir saat hujan turun dengan intensitas tinggi.
Bagi warga Kota Sukabumi, hujan yang dahulu dianggap berkah kini berubah menjadi ancaman. Jika dulu hujan deras identik dengan rezeki dan kesejukan, kini setiap tetes air sering dikaitkan dengan potensi bencana hidrometeorologi. Genangan, luapan, bahkan tanah longsor menjadi risiko nyata yang harus diwaspadai masyarakat.
Tumpang-tindih pembangunan tanpa arah yang selaras dengan lingkungan terus berlangsung hingga kini. Sejak masa kepemimpinan Muraz–Fahmi hingga Ayep–Bobby, pembangunan sulit dilakukan secara strategis. Orientasi lebih banyak terjebak pada pola tambal sulam, tanpa konsep jangka panjang.
Hampir tak ada kepala daerah yang berpikir jauh ke depan dengan membangun infrastruktur berumur panjang, misalnya trotoar yang dapat bertahan 100 hingga 200 tahun. Alih-alih demikian, pembangunan cenderung diarahkan untuk kepentingan politik lima tahunan. Hasilnya, keberlanjutan infrastruktur dan manfaat jangka panjang terabaikan.
Pasar Juara di Lembursitu adalah salah satu contoh nyata. Pada tahun 2022, pasar ini diresmikan dengan gegap gempita oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Namun, setelah kepemimpinannya berakhir, pasar tersebut sepi peminat. Pedagang yang sebelumnya mengandalkan pasar tradisional enggan beralih karena minim pembeli.
Pada masa Muraz–Fahmi, kawasan Lembursitu masih hidup karena berfungsi sebagai terminal. Angkutan umum dari Pajampangan “ngetem” di sana, sehingga lalu-lintas penumpang memberi kehidupan bagi pedagang. Setelah pembangunan pasar baru oleh pemerintah provinsi, titik pemberangkatan dipindahkan ke Terminal Tipe A Lingkar Selatan. Aktivitas ekonomi pun tereduksi drastis.
Tak heran jika beberapa bulan lalu masyarakat pengguna Pasar Juara bersama sopir angkutan kota melakukan unjuk rasa. Mereka menuntut agar rute pemberangkatan angkutan Pajampangan dikembalikan ke Terminal Lembursitu. Permintaan ini lahir dari pengalaman pahit bahwa pembangunan tanpa pertimbangan ekosistem sosial-ekonomi justru mematikan aktivitas warga.
Kondisi serupa terlihat pada infrastruktur jalan. Di berbagai ruas, jalanan Kota Sukabumi dipenuhi tambalan aspal. Jalan berlubang hanya ditutup seadanya tanpa perbaikan menyeluruh. Pemerintah beralasan bahwa anggaran perbaikan terbatas dan jika difokuskan pada rehabilitasi penuh akan mengganggu sektor lain.
Namun, alasan itu tak menyentuh akar masalah. Kualitas dan ketahanan infrastruktur jarang diperhatikan sejak awal pembangunan. Akibatnya, jalan yang baru diperbaiki hari ini bisa rusak lagi dalam hitungan bulan. Pola ini membuktikan bahwa perencanaan tidak dilakukan dengan memperhatikan prinsip keawetan maupun keberlanjutan.
Lebih jauh, pembangunan juga abai pada tantangan global. Antisipasi terhadap perubahan iklim, pemanasan global, maupun pengurangan polusi udara hampir tidak masuk dalam perencanaan pembangunan kota. Padahal, infrastruktur berbasis lingkungan dapat menjadi investasi penting bagi masa depan.
Jika paradigma ini tidak berubah, pembangunan hanya menjadi sarana menghamburkan anggaran. Alih-alih melahirkan infrastruktur kokoh dan inklusif, yang tercipta justru pembangunan rapuh yang harus terus ditambal. Biaya yang dikeluarkan pun membengkak tanpa hasil memadai.
Situasi ini menuntut adanya perubahan paradigma. Pembangunan tidak bisa hanya sebagai proyek fisik an sich, melainkan harus dirancang untuk menghadirkan keberlanjutan. Kualitas, daya tahan, dan keselarasan dengan lingkungan perlu ditempatkan sebagai prioritas utama.
Kesadaran bahwa kota merupakan ruang hidup masyarakat, harus benar-benar diwujudkan. Pembangunan jalan, pasar, maupun infrastruktur lainnya mesti dihubungkan dengan sistem sosial-ekonomi dan ekologi agar manfaatnya menyeluruh.
Tanpa langkah itu, pembangunan akan terus menjadi lingkaran tambal sulam yang tak berkesudahan. Kota Sukabumi, seperti banyak kota lain di dunia ketiga, akan tetap berkutat dengan masalah yang sama: infrastruktur rapuh, banjir musiman, pasar sepi, dan anggaran yang bocor.
Dengan demikian, jalan keluar terletak pada keberanian mengubah paradigma. Pembangunan harus berorientasi pada keberlanjutan, kualitas, dan keselarasan lingkungan. Hanya dengan cara itu kota dapat tumbuh secara kuat menghadapi tantangan jangka panjang.
Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.
Informasi Lainnya
Terbaru
Memuat...
Popular
- Bulan Bahasa dan Kesadaran Kolektif akan Persatuan
- Silaturahmi dan Refleksi Akhir Masa Tugas Pj Wali Kota Sukabumi
- Pj Wali Kota Sukabumi Menekankan Optimalisasi Kesejahteraan Rakyat dalam Rapat Forum Komunikasi Pemangku Kepentingan Utama
- Keberhasilan Sentra Gakkumdu Kota Sukabumi dalam Penegakan Hukum Pemilu dan Tantangan ke Depan
- Divine Comedy: Inferno Bagian 1-10 (Bersambung)

Posting Komentar
Posting Komentar