
entah sudah berapa lama
sang jiwa terpendar di belantara
kehidupan semesta yang fana
akrab dengan suara-suara
kita sepenuhnya tak pernah meminta
tentang siapa dan harus menjadi apa
kita sepenuhnya mengikuti jalan cerita
Sang maha kreasi yang tak pernah alfa
Kita telah menempuh jalan panjang dan berliku
Kita t'lah lalui hidup yang kokoh kadang rapuh
Kita telah bangkit berkali-kali lalu terjatuh
Kita tanpa sadar segalanya terus berlalu
sang jiwa secara perlahan menyadari
di bawah langit yang sama segalanya hanya ilusi
tak bertepi dalam bingkai harga diri
keakuan yang angkuh dalam diri
hingga kembali pada Sang Abadi
Entah sudah berapa lama jiwa manusia berpendar di belantara kehidupan yang fana. Kita berjalan di jalanan semesta yang penuh suara, hiruk pikuk dunia yang tak pernah berhenti.
Kita lahir tanpa pernah meminta, tumbuh tanpa bisa memilih, dan menjalani kehidupan dengan segala misteri yang menyertainya.
Dalam kebisingan itu, sering kali kita lupa untuk bertanya: apa arti perjalanan ini, dan ke mana arah yang sebenarnya harus dituju?
Pertanyaan semacam ini bukanlah hal baru. Sejak zaman kuno, manusia selalu gelisah dengan keberadaannya.
Para filsuf Yunani, khususnya kaum Stoik, berusaha mencari jawaban dengan jalan yang berbeda dari sekadar mengejar kenikmatan atau kekuasaan.
Mereka menekankan pentingnya hidup selaras dengan alam, menerima apa yang tidak bisa diubah, dan menguasai apa yang bisa kita kendalikan.
Kita hadir di dunia tanpa pernah meminta. Kita tidak memilih lahir di keluarga tertentu, di negeri tertentu, atau pada zaman tertentu.
Semua itu adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Stoikisme menyebutnya sebagai logos, akal kosmik atau hukum alam yang mengatur segalanya.
Epictetus, salah satu filsuf Stoik, menekankan bahwa kebahagiaan lahir dari kemampuan menerima peran yang diberikan oleh alam semesta, layaknya seorang aktor yang memainkan naskah dalam sebuah drama.
Kesadaran ini melatih kita untuk tidak meratap pada apa yang tidak bisa diubah. Jika kita lahir dalam keadaan tertentu, jika kita menghadapi keterbatasan atau bahkan penderitaan, itu bukan alasan untuk kehilangan kendali diri.
Sebab kebebasan sejati bukanlah bebas dari takdir, melainkan bebas dalam menyikapi takdir. Inilah yang oleh para Stoik disebut sebagai amor fati, mencintai takdir, bukan sekadar menerimanya.
Kita telah menempuh jalan panjang yang berliku. Dalam hidup, kita sering kali menemukan diri kita kuat, namun pada saat lain rapuh. Kita jatuh, lalu bangkit, lalu jatuh lagi.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa hidup tidak pernah menjanjikan kemudahan, tetapi selalu menyediakan kesempatan untuk belajar.
Marcus Aurelius, kaisar sekaligus filsuf Stoik, menulis dalam Meditations: “Hidup manusia hanyalah sekejap; hakikatnya adalah perubahan, dan persepsi kita sering kali menipu.”
Hidup ini seperti sungai yang mengalir deras; kita tidak bisa menghentikannya, tetapi kita bisa belajar berenang di dalamnya.
Jatuh dan bangkit adalah bagian dari latihan jiwa. Stoikisme memandang penderitaan bukan sebagai musibah, melainkan sebagai ujian yang melatih kebajikan.
Seperti otot yang menguat melalui beban, jiwa pun menguat melalui tantangan. Maka, setiap kegagalan bukanlah akhir, melainkan pintu menuju kebijaksanaan.
Namun dalam perjalanan itu, jiwa mulai menyadari bahwa banyak hal yang dikejar hanyalah ilusi. Kekayaan, jabatan, dan popularitas sering dianggap sebagai sumber kebahagiaan.
Padahal semua itu berada di luar kendali kita dan bisa hilang kapan saja. Epictetus menegaskan, “Jika engkau meletakkan kebahagiaan pada hal-hal eksternal, engkau akan menjadi budaknya.”
Harga diri yang rapuh sering membuat kita terikat pada penilaian orang lain. Ego yang angkuh mendorong kita untuk mencari pengakuan tanpa henti.
Tetapi Stoikisme mengingatkan bahwa satu-satunya yang benar-benar milik kita adalah pikiran dan sikap.
Di sinilah letak kebebasan sejati, tidak terikat oleh opini, tidak diperbudak oleh keinginan, tidak goyah oleh pujian atau hinaan.
Ilusi dunia mengajarkan bahwa banyak hal yang tampak besar sebenarnya kecil. Kekuasaan hanya sementara, kekayaan hanya titipan, bahkan tubuh pun akan rapuh dan lenyap.
Yang abadi hanyalah kebajikan. Itulah sebabnya para Stoik menempatkan hidup yang jujur, adil, berani, dan bijaksana sebagai tujuan tertinggi.
Pada akhirnya, setiap jiwa akan kembali pada Sang Abadi. Dalam bahasa religius, ini berarti kembali pada Tuhan, dalam bahasa Stoik, kembali menyatu dengan alam semesta.
Kematian bukanlah akhir yang menakutkan, melainkan proses alami yang harus diterima dengan tenang.
Seneca, filsuf Stoik Romawi, pernah menulis bahwa kematian hanyalah kembalinya kita ke tempat asal.
Sama seperti sebelum lahir kita tidak ada, demikian pula setelah mati kita kembali pada ketidakadaan yang damai.
Ketakutan pada kematian hanyalah lahir dari ilusi ego yang ingin mempertahankan dirinya selamanya.
Kesadaran akan kefanaan justru membuat hidup lebih bermakna. Dengan menyadari bahwa waktu terbatas, kita belajar menghargai setiap momen.
Dengan mengetahui bahwa segalanya akan berlalu, kita memilih untuk hidup dengan kebajikan, bukan kesia-siaan. Kematian adalah kepulangan, bukan kehilangan.
Perjalanan jiwa di belantara semesta adalah perjalanan panjang penuh misteri. Kita hadir tanpa meminta, berjalan dalam jalan yang berliku, terjerat dalam ilusi dunia, hingga akhirnya menemukan bahwa semua akan kembali pada Sang Abadi.
Stoikisme memberi kita lensa untuk memandang perjalanan ini dengan tenang: menerima takdir, menguasai diri, dan hidup selaras dengan alam.
Dalam setiap jatuh, kita belajar untuk bangkit. Dalam setiap kehilangan, kita belajar untuk merelakan. Dalam setiap momen, kita belajar untuk hadir sepenuhnya.
Dan, ketika waktu mengantar kita pulang, kita melangkah dengan tenang, sebab jiwa yang memahami tak lagi gentar menghadapi kefanaan. Ia tahu, yang fana hanyalah tubuh, sedangkan kebajikan akan tetap hidup dalam harmoni semesta.
Posting Komentar
Posting Komentar