-->


Catatan dari Braga: Dunia Urban dan Perubahan Pola Remaja

Posting Komentar


Kunjungan Saya ke Braga City Walk, Bandung hari ini (Sabtu, 27/9/2025) dalam rangka meliput kegiatan Pemilihan Duta GenRe tingkat Jawa Barat menjadi momentum untuk melihat kembali dinamika kehidupan urban. Kegiatan ini membuka ruang refleksi tentang perubahan wajah kota dan pola perilaku remaja dalam tiga dekade terakhir.

Perubahan kota-kota di negara berkembang berlangsung sangat cepat. Pada dekade 1990-an, perjalanan masyarakat dari desa ke kota hampir selalu berujung pada kunjungan ke pusat perbelanjaan modern, baik berupa mal maupun supermarket. Kehadiran mal pada saat itu menjadi simbol modernitas dan menjadi ruang pertemuan sosial bagi remaja.

Di Sukabumi, misalnya, pusat perbelanjaan seperti Ramayana dan Matahari telah hadir sebagai magnet utama. Sebagian pengunjung membeli kebutuhan sandang, sementara sebagian lainnya hanya sekadar berjalan-jalan. Bagi remaja dari desa, mal memberikan pengalaman baru untuk melihat langsung produk yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan.

Fenomena ini menandai pertemuan dua dunia, remaja perkotaan dan perdesaan. Meski memiliki akses yang berbeda terhadap produk global, keduanya pada dasarnya sama-sama mengikuti arus tren globalisasi. Hal ini memperlihatkan bagaimana ruang kota menjadi etalase dunia yang lebih luas.

Rasa takjub yang muncul dari kehadiran mal dapat dipandang sebagai kelanjutan dari kecenderungan manusia untuk mengagumi inovasi. Dalam sejarah panjang, rasa takjub ini muncul mulai dari penemuan api, penemuan gelombang radio oleh Marconi, hingga kehadiran telepon genggam yang mengubah cara komunikasi manusia.

Pada awal kemunculannya, telepon genggam hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu. Namun produksi massal yang terjadi kemudian membuat harga lebih terjangkau, sehingga remaja semakin akrab dengan teknologi komunikasi jarak jauh. Proses ini menunjukkan bagaimana inovasi secara bertahap menjadi bagian dari keseharian.

Tiga dekade kemudian, lanskap urban berubah. Persaingan yang semakin ketat, penurunan daya beli masyarakat, serta kehadiran platform marketplace membuat banyak mal kehilangan daya tariknya. Beberapa bahkan harus tutup karena tidak mampu bertahan.

Di tengah situasi tersebut muncul istilah populer seperti Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya). Istilah ini mengacu pada kebiasaan remaja yang memenuhi pusat perbelanjaan hanya untuk berjalan-jalan tanpa membeli barang.

Kondisi tersebut membuat para pelaku usaha menyesuaikan diri. Alih-alih bertahan dengan biaya sewa yang tinggi, mereka beralih pada pemasaran berbasis rumahan atau toko virtual. Digitalisasi ekonomi menjadi alternatif yang lebih efisien dan sesuai dengan perilaku konsumen masa kini.

Meski demikian, mal tetap memiliki peran sebagai ruang publik. Tempat ini mempertemukan remaja dari latar belakang berbeda, meski interaksi yang terjadi seringkali hanya sebatas keberadaan fisik di ruang yang sama. Namun tren saat ini menunjukkan pergeseran yang semakin kuat ke arah ruang virtual.

Kalaupun ada upaya renovasi atau revitalisasi, keberlangsungan mal sebagai ruang publik diperkirakan tidak akan lama. Perilaku remaja sudah beralih pada pola baru, yakni menghabiskan waktu di kafe dengan koneksi internet yang memungkinkan mereka tetap terhubung ke dunia maya.

Kafe menjadi simbol baru interaksi sosial. Dengan hanya memesan satu gelas minuman, remaja dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercengkerama atau berselancar di media sosial. Media sosial kemudian berperan sebagai kota global alternatif yang lebih dinamis dibandingkan pusat perbelanjaan.

Fenomena ini memperlihatkan transformasi ruang sosial dari nyata menuju virtual. Aktivitas yang dahulu berlangsung di mal kini berpindah ke ruang digital, memperlihatkan pergeseran signifikan dalam pola pergaulan remaja.

Namun, dalam jangka panjang, manusia modern kemungkinan akan kembali mencari keseimbangan. Kelelahan hidup urban dan kejenuhan dunia maya berpotensi menuntun mereka kembali ke alam, sebuah ruang yang sejak awal menjadi habitat leluhur.

Kunjungan ke Braga hari ini menjadi pengingat bahwa dinamika kota tidak pernah berhenti. Ia mencatat pertemuan remaja, globalisasi, transformasi ruang sosial, hingga kerinduan manusia terhadap alam. Semua itu merupakan bagian dari perjalanan panjang urbanisasi yang terus bergerak mengikuti zaman.
Kang Warsa
Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Informasi Lainnya

Posting Komentar

Berlangganan