-->


Pembangunan dan Permasalahan Infrastruktur Transportasi di Kota Sukabumi

Posting Komentar


Pembangunan berkelanjutan pada masa kepemimpinan Muraz–Fahmi belum sepenuhnya selaras dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Hal ini dapat dimaklumi karena pemerintah pusat pada periode awal kepemimpinan Jokowi–Kalla juga masih terlihat tertatih-tatih dalam mengusung tema besar pembangunan.

Konsentrasi pemerintah pusat saat itu lebih banyak tertuju pada pembangunan sentralistik yang berpusat di Jakarta, tanpa benar-benar memperhatikan bagaimana pembangunan pusat dan daerah dapat terkoneksi secara efektif.

Salah satu bukti nyata terlihat pada kondisi infrastruktur jalan nasional yang menghubungkan Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kota Sukabumi.

Jalan nasional tersebut sejatinya diharapkan mampu menjalankan peran vitalnya, namun dalam praktiknya justru sering menjadi titik kemacetan parah. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai sejauh mana pemerintah pusat memberikan perhatian pada peran konektivitas wilayah di luar pusat ibu kota.

Rencana pembangunan Tol Bocimi kemudian muncul sebagai solusi yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan aksesibilitas dan kelancaran arus transportasi. Namun, persoalan mendasar kemacetan sesungguhnya tidak sepenuhnya disebabkan oleh ada atau tidak adanya jalan tol.

Penyebab utama justru terletak pada penataan jalan yang belum tepat, ditambah dengan minimnya kesadaran masyarakat dalam menggunakan serta memiliki kendaraan bermotor secara bijak.

Kebiasaan berpikir sederhana yang cenderung dangkal sering kali muncul di negara-negara dunia ketiga. Kemacetan lalu lintas kerap dipandang sebagai akibat dari sempitnya jalan atau kurangnya jalur penghubung.

Padahal, kemacetan jauh lebih erat kaitannya dengan pola penggunaan kendaraan pribadi yang tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap arus lalu lintas. Egoisme pribadi, kenyamanan semu, dan rendahnya minat menggunakan angkutan publik membuat persoalan ini semakin berlarut.

Fenomena kemacetan di Kota Sukabumi pun memperlihatkan pola yang sama. Pada waktu-waktu tertentu, seperti menjelang Lebaran di sepanjang Jalan Ahmad Yani, arus lalu lintas menjadi sangat padat.

Campuran berbagai aktivitas masyarakat, mulai dari transportasi, kegiatan ekonomi, hingga sekadar berjalan-jalan, tumpah ruah ke jalanan. Ribuan orang berdesakan, tidak peduli terhadap udara panas, keringat, dan suasana yang sesak.

Fenomena tahunan ini sering dianggap wajar karena hanya berlangsung sekali dalam setahun. Namun, kenyataannya situasi tersebut menimbulkan dampak psikologis yang tidak kecil bagi masyarakat. Kelelahan, stres, dan rasa jenuh menjadi bagian dari pengalaman kolektif warga kota.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kemacetan tidak bisa dipandang sekadar sebagai masalah teknis, melainkan juga bagian dari permasalahan sosial.

Keterkaitan antara pembangunan infrastruktur dengan pembangunan sosial terlihat jelas di sini. Kemacetan yang terus berlangsung di Kota Sukabumi merupakan cermin dari belum hadirnya konsep pembangunan yang holistik. Masyarakat seolah dibiarkan untuk mengelola sendiri fenomena sosial tanpa adanya arahan atau fasilitas yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik.

Padahal, jika dibandingkan dengan negara lain, pembangunan infrastruktur transportasi dapat mencakup aspek yang jauh lebih komprehensif. Infrastruktur tidak hanya dilihat sebagai jalur fisik, melainkan juga sebagai ruang publik yang memperhatikan kenyamanan pengguna, kelancaran aktivitas kendaraan, serta keberlanjutan lingkungan yang terbebas dari polusi.

Di negara-negara maju, sistem transportasi publik dirancang dengan mengutamakan keterhubungan, kecepatan, dan kenyamanan, sehingga penggunaan kendaraan pribadi dapat diminimalisasi. Sebaliknya, di kota-kota negara berkembang, berbagai masalah kerap muncul dari infrastruktur yang tidak terkelola dengan baik. Polusi udara, gangguan kesehatan, kebisingan, hingga gesekan interpersonal di jalanan menjadi pemandangan yang akrab ditemui.

Lingkungan yang padat, krodit, dan tidak tertata baik juga menimbulkan dampak serius pada kondisi mental masyarakat. Tekanan hidup sehari-hari di tengah lalu lintas yang semrawut dapat memicu depresi, rasa frustrasi, bahkan emosi yang mudah tersulut.

Akibatnya, masyarakat menjadi rentan membentuk kelompok-kelompok kecil, memperkuat ikatan komunitas, atau bahkan melampiaskan kekesalan melalui tindakan yang tidak produktif.

Kondisi tersebut semakin mempertegas bahwa pembangunan infrastruktur di negara berkembang, termasuk di Kota Sukabumi, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.

Ketidakselarasan antara kebijakan pusat dan daerah, lemahnya penataan, serta rendahnya kesadaran masyarakat menjadi faktor yang saling bertaut dan memperparah masalah.

Apa yang terjadi di Kota Sukabumi adalah contoh nyata bahwa pembangunan tidak bisa hanya berhenti pada wacana pembangunan jalan tol atau pelebaran jalan semata.

Dibutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh, melibatkan pendidikan masyarakat, penataan tata ruang, serta pengelolaan transportasi publik yang layak.

Tanpa hal itu, pembangunan akan terus terjebak pada pola lama: memperluas jalan tanpa pernah benar-benar menyelesaikan masalah kemacetan.

Dengan demikian, permasalahan infrastruktur jalan di Kota Sukabumi tidak bisa dilepaskan dari kegagalan pembangunan pada masa sebelumnya untuk benar-benar berpihak pada kebutuhan masyarakat.

Selama fokus pembangunan masih berkutat pada aspek fisik semata tanpa menyentuh dimensi sosial dan tata kelola lalu lintas, kemacetan akan tetap menjadi bagian dari wajah keseharian kota.

Kang Warsa
Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.
Terbaru Lebih lama

Informasi Lainnya

Posting Komentar

Berlangganan