-->


Etika Alas Kaki dan Tafsir Budaya Kita

Posting Komentar


Tiga minggu lalu, muncul komentar terhadap sikap Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sukabumi ketika keduanya memasuki dan duduk di sebuah rumah tanpa membuka sepatu.

Konon, tindakan semacam itu dianggap tidak sopan dan tidak mencerminkan budaya Timur yang menjunjung tinggi kesantunan. Komentar ini menuai perhatian publik karena menyinggung persoalan adab dan norma budaya.

Namun, jika dicermati lebih dalam, orang yang menilai pun sejatinya tidak sepenuhnya benar dan tidak pula sepenuhnya salah.

Sebab, ketika seseorang menilai tindakan itu sebagai “tidak beradab”, sementara dirinya memposting foto hasil jepretan orang lain tanpa izin, maka ia pun sesungguhnya sedang melakukan tindakan yang serupa, melanggar adab, hanya dalam bentuk yang berbeda.

Seorang teman bertanya kepada saya, “Apakah benar membuka sepatu sebelum masuk rumah merupakan bagian dari norma dan etika Timur?” Pertanyaan ini sederhana, tetapi menyentuh akar dari relasi antara norma, etika, dan budaya.

Untuk menjawabnya, kita perlu memisahkan dua hal: pertama, norma dan etika dasar yang bersifat universal; kedua, budaya sebagai konstruksi sosial yang terus berubah.

Membuka alas kaki sebelum masuk rumah memang menjadi kebiasaan di banyak tempat di Asia, termasuk di Indonesia. Namun, kebiasaan itu lebih didorong oleh alasan kebersihan dan kenyamanan, bukan mutlak soal etika moral.

Jika kita runut secara historis, penggunaan sepatu justru merupakan hasil adaptasi dari budaya Barat. Di Barat, sepatu menjadi bagian dari busana yang melekat sepanjang hari, bahkan di dalam rumah.

Rumah permanen dengan lantai berkeramik, semen, atau karpet juga merupakan produk peradaban modern yang diperkenalkan oleh dunia Barat.

Maka, ketika seseorang memasuki rumah dengan tetap mengenakan sepatu, tindakan itu tidak bisa serta-merta disebut tidak beradab, sebab norma yang dipakai untuk menilainya berbeda konteks dan latar budayanya.

Penting untuk kita pahami bahwa budaya adalah hasil dari proses asimilasi yang panjang. Hari ini, banyak aspek kehidupan kita yang sepenuhnya berakar dari budaya Barat, dari mulai pakaian, perabot rumah, hingga sistem pendidikan dan pemerintahan.

Bahkan, orang yang mengomentari perilaku pejabat tadi pun sangat mungkin sedang memakai celana jeans, kaos, atau sepatu sneakers, semua produk budaya luar.

Walakin, apakah dengan demikian ia menjadi orang yang “tidak berbudaya Timur”? Tentu tidak. Budaya bersifat dinamis dan terus berubah mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan manusia.

Dalam konteks ini, perdebatan soal sepatu hanyalah contoh kecil dari bagaimana masyarakat seringkali terjebak dalam simbol-simbol budaya tanpa memahami substansinya.

Membuka sepatu memang bisa dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada tuan rumah, tetapi penghormatan sejati bukan terletak pada sepatu yang dilepas, melainkan pada sikap hati yang menghargai dan menghormati pemilik rumah.

Jika si pemilik rumah sudah mempersilakan tamunya untuk tetap mengenakan alas kaki, maka adabnya tetap terjaga karena esensinya adalah kesalingpahaman dan keikhlasan.

Saya pun tidak sedang membela Wali Kota atau Wakilnya. Saya hanya ingin mengingatkan agar kita berhati-hati dalam menggunakan dalil budaya untuk menilai atau bahkan menjatuhkan orang lain. Budaya bukan senjata untuk menyerang, melainkan cermin yang semestinya membuat kita lebih bijak dalam menilai.

Orang yang beradab bukanlah orang yang paling keras berbicara tentang adab, tetapi mereka yang mampu menjaga ucapan dan tindakannya dari menyakiti orang lain baik dengan tangan, lidah, maupun unggahan media sosial.

Kita juga perlu menyadari bahwa etika sosial selalu bersifat kontekstual. Apa yang dianggap sopan di satu tempat, bisa jadi wajar di tempat lain. Di beberapa daerah, duduk bersila di lantai dianggap lebih santun, tetapi di tempat lain justru dianggap kurang terhormat dibanding duduk di kursi.

Dalam dunia yang semakin global, kita tidak lagi bisa berpegang pada batas-batas kaku antara Timur dan Barat. Etika kini lebih banyak ditentukan oleh niat dan konteks, bukan oleh bentuk fisik perilaku semata.

Sungguh, terlalu sering kita menghakimi perilaku orang lain hanya karena tampak tidak sesuai dengan kebiasaan pribadi kita. Padahal, saat kita menunjuk orang lain “tidak beradab”, jari yang lain sedang mengarah pada diri sendiri.

Kita hidup di tengah perubahan besar budaya dan nilai. Setiap hari, tanpa kita sadari, kita mengadopsi hal-hal baru; dari gaya hidup, cara berbicara, hingga berpakaian yang jauh dari nilai tradisi leluhur. Namun kita jarang mengkritik diri sendiri atas perubahan itu.

Jika kita ingin membangun masyarakat yang beradab, mulailah dengan menumbuhkan empati, bukan rasa ingin menghakimi. Adab sejati tumbuh dari hati yang mampu memahami perbedaan, bukan dari pandangan yang memaksakan keseragaman.

Seseorang yang tetap menghormati pemilik rumah meski dengan sepatu di kakinya bisa jauh lebih beradab daripada orang yang rajin menasihati tetapi mudah mengunggah aib orang lain di media sosial.

Perdebatan tentang sepatu hanyalah refleksi kecil dari tantangan besar kebudayaan kita hari ini, bagaimana menjaga adab di tengah pergeseran nilai dan kemajuan zaman. Kita tidak perlu menuduh siapa yang salah atau benar.

Yang perlu kita rawat adalah kesadaran bahwa adab dan budaya bukanlah atribut lahiriah semata, melainkan cermin dari keikhlasan, kebijaksanaan, dan rasa hormat kita kepada sesama manusia.

Kang Warsa
Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Informasi Lainnya

Posting Komentar

Berlangganan