
Istilah dan sebutan untuk warga miskin di Indonesia terus mengalami perubahan seiring waktu, seolah mengikuti arus peradaban dan kehalusan bahasa birokrasi. Fenomena ini dikenal dengan istilah ameliorasi, yaitu proses penyempurnaan atau pelunakan makna agar lebih sopan.
Kata miskin sendiri berasal dari bahasa Arab, sama halnya dengan fakir dari kata faqir, dan melarat yang kemungkinan besar bersumber dari kata madlarat. Istilah terakhir ini dapat dimaknai sebagai orang yang hidupnya serba darurat, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan paling dasar secara terbatas.
Penyebutan istilah yang lebih halus ini tidak muncul tanpa alasan. Dalam kehidupan sosial Indonesia yang dikenal penuh tenggang rasa, pemilihan kata sering kali diatur oleh pertimbangan etika dan kesopanan.
Kata “miskin” dianggap terlalu keras, sementara istilah seperti “orang sederhana” dipilih agar terdengar lebih netral. Meski demikian, antara miskin dan sederhana tentu memiliki perbedaan mendasar. Orang sederhana bisa jadi cukup secara ekonomi, tetapi memilih gaya hidup bersahaja.
Ameliorasi istilah tersebut juga mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang enggan menyinggung perasaan orang lain. Para pejabat, birokrat, dan tokoh masyarakat memilih istilah yang lebih santun untuk menggambarkan kelompok ekonomi lemah.
Maka lahirlah berbagai istilah baru seperti dhuafa, orang tidak mampu, warga rentan, prasejahtera, pemerlu pelayanan kesejahteraan, hingga masyarakat berkebutuhan khusus. Semua istilah ini berupaya menciptakan kesan empati, bukan kasihan.
Dalam ranah kebijakan publik, penggunaan istilah-istilah tersebut menjadi penting karena bahasa dalam peraturan dan undang-undang harus mencerminkan asas keadilan dan kesetaraan. Pemerintah tentu tidak ingin istilah yang digunakan terkesan mendiskreditkan warga negara. Ketika aparatur menyebut “warga prasejahtera” dibanding “warga miskin”, mereka tidak hanya memilih kata, tetapi juga menjaga martabat pihak yang disebut.
Menariknya, secara faktual kelompok masyarakat miskin itu sendiri sering kali tidak merasa tersinggung jika disebut fakir atau miskin. Mereka sadar akan realitas yang dihadapi dan menerima istilah tersebut apa adanya. Namun bagi pemerintah, bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga alat politik dan moral yang harus memancarkan keadilan sosial.
Jika kita menelusuri akar sejarah, istilah fakir dan miskin lebih banyak dijumpai dalam literatur keagamaan, khususnya dalam Islam. Dalam literatur Nusantara kuno sendiri, istilah-istilah itu tidak dikenal. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kuno di Nusantara hidup dalam sistem sosial yang cenderung egaliter dan komunal. Mereka tidak mengukur status sosial berdasarkan harta, tetapi berdasarkan kaweruh atau pengetahuan.
Masyarakat Nusantara dahulu hidup dalam suasana gemah ripah loh jinawi, subur dan makmur, dengan sistem sosial yang tidak mengenal jurang kemiskinan ekstrem. Kekayaan tidak menjadi simbol kehormatan. Para pandita dan kesatria bahkan tidak diperbolehkan menimbun harta, karena kelebihan materi dianggap bisa mengaburkan tujuan hidup dan moralitas.
Namun, ketika sistem sosial berubah dan materialisme mulai menancapkan akar, kepemilikan harta menjadi penentu kelas sosial. Para kesatria, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan pelindung rakyat, perlahan terjebak dalam pusaran kekuasaan dan kekayaan. Stratifikasi sosial pun berubah, dari berbasis pengetahuan dan kebijaksanaan menjadi berbasis ekonomi dan kepemilikan.
Pergantian sistem nilai inilah yang menjadi awal ketimpangan sosial. Negara, yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat, justru sering kali menciptakan regulasi yang memperlebar jurang antara kaya dan miskin. Kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat kecil hanya melahirkan siklus kemiskinan yang berulang.
Ironisnya, di tengah kekayaan sumber daya alam yang melimpah, kemiskinan justru semakin kompleks. Negara sibuk mengekspor komoditas dan mengeksploitasi sumber daya alam, tetapi hasilnya jarang menyentuh kehidupan masyarakat di lapisan bawah. Slogan “kesejahteraan” menjadi jargon politik yang terus diulang, seolah menegaskan bahwa kesejahteraan itu masih sebatas cita-cita.
Dalam sejarah Islam, istilah fakir dan miskin muncul dalam konteks sosial yang serupa. Masyarakat Mekah pada masa Rasulullah hidup dalam sistem ekonomi yang timpang. Segelintir saudagar kaya seperti Abu Sufyan, Amr bin Hisyam, dan Walid bin Mughirah menguasai sumber daya dan memonopoli perdagangan. Sementara itu, masyarakat kecil harus bergantung pada belas kasihan dan sistem sosial yang tidak adil.
Kondisi tersebut melahirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang keadilan sosial, kepedulian terhadap anak yatim, larangan menumpuk harta, serta kewajiban menolong fakir miskin. Islam datang untuk menegaskan bahwa kemuliaan tidak diukur dari kekayaan, tetapi dari ketakwaan dan akhlak.
Spirit keadilan sosial yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut seharusnya menjadi landasan moral dalam tata kelola pemerintahan modern. Namun, realitas hari ini menunjukkan paradoks, sumber daya dikuasai oleh segelintir orang, sementara sebagian besar rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari sistem ekonomi yang tidak adil. Ketika kebijakan lebih berpihak pada modal besar, rakyat kecil hanya menjadi penonton dalam panggung kesejahteraan nasional.
Ironisnya lagi, masyarakat modern sering menutupi ketimpangan sosial dengan retorika humanisme dan kesetaraan. Istilah-istilah seperti “pemberdayaan masyarakat” atau “ekonomi inklusif” kerap terdengar manis, tetapi sering berakhir sebagai wacana tanpa perubahan nyata di lapangan.
Dalam hal ini, masyarakat tradisional seperti Suku Baduy justru memberi pelajaran berharga. Mereka hidup dalam kesederhanaan tanpa mengenal konsep kaya dan miskin. Tidak ada perbedaan mencolok dalam pakaian, rumah, atau gaya hidup. Semua hidup dalam kesetaraan yang alami dan damai.
Bandingkan dengan masyarakat modern yang sering berbicara tentang "kesetaraan dan kesejahteraan untuk semua" di ruang seminar mewah sambil menikmati hidangan di hotel berbintang. Ketimpangan seperti ini menunjukkan bahwa kesetaraan sejati tidak lahir dari wacana, melainkan dari kesadaran dan kesederhanaan hidup.
Mengganti istilah “miskin” dengan “prasejahtera” tidak akan menghapus kemiskinan jika sistemnya tetap timpang. Yang dibutuhkan bukan pelunakan bahasa, tetapi pembenahan sistem ekonomi dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Kemiskinan tidak akan lenyap hanya dengan kata-kata yang indah, melainkan dengan keadilan sosial yang nyata. Selama sumber daya masih dikuasai oleh segelintir orang, selama kebijakan masih menyingkirkan rakyat kecil, istilah apapun yang digunakan; fakir, dhuafa, atau prasejahtera hanya akan menjadi kamuflase moral dalam wajah ketimpangan yang tetap sama.
Posting Komentar
Posting Komentar