-->


Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Program Kota Sehat (Bagian 20)

Posting Komentar
Kegiatan Partisipasi Perempuan Balandongan pada tahun 1995 di Desa Sudajayahilir (Koleksi Pribadi/Kang Warsa)

Program Kota Sehat yang dicanangkan Pemerintah Kota Sukabumi pada 2015–2016 pernah menjadi salah satu kebijakan unggulan dengan pendekatan integratif. Kebijakan ini menitikberatkan pada sanitasi berbasis lingkungan dan kawasan tanpa rokok sebagai proyek percontohan yang dipimpin Dinas Kesehatan.

Keunggulan program ini terletak pada sinergi lintas sektor. Dinas Kesehatan menggarap aspek lingkungan dan perilaku sehat, Dinas Pendidikan mendorong sekolah sehat, sementara Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) memperkuat infrastruktur sanitasi. Kota Sehat saat itu dirancang tidak hanya sebagai program kesehatan, tetapi juga gerakan sosial yang menyatukan berbagai instansi.

Namun, di balik keberhasilan teknisnya, program ini tidak lepas dari bayang-bayang kepentingan politik. Kepala daerah hasil pemilihan langsung sering dihadapkan pada tarik-menarik kepentingan dari partai pengusung, tim sukses, hingga kelompok politik yang merasa berkontribusi dalam kemenangan Pilkada.

Fenomena ini terlihat jelas Pasca-Pilkada 2013, ketika pasangan Muraz–Fahmi unggul tipis 68 suara atas Mulyono–Jona. Program sehebat apapun sering kali terhambat ketika kepentingan teknis harus bersaing dengan kepentingan politis.

Kondisi ini berimplikasi pada penyerapan anggaran yang tidak maksimal. Pembangunan infrastruktur kota, sebagaimana terjadi di banyak daerah lain, kerap tak sesuai harapan.

Anggaran yang seharusnya digunakan untuk memperkuat layanan publik justru tergerus untuk program yang bersifat simbolis. Masalah ini bukan semata kesalahan kepala daerah, melainkan konsekuensi dari sistem politik yang memaksa kompromi dengan berbagai kepentingan di luar birokrasi.

Sebenarnya, konsep Kota Sehat di Kota Sukabumi bukan hal baru. Pada era Wali Kota Muslikh Abdussyukur, program Kelurahan Siaga dan Forum Kota Sehat berhasil menggerakkan partisipasi aktif masyarakat, meskipun tetap didukung anggaran daerah. Bedanya, kala itu peran warga terasa lebih nyata dan inisiatif mereka lebih kuat dalam menjaga kebersihan lingkungan.

Memasuki era Muraz–Fahmi, tantangan baru muncul. Pada awal pemerintahan Joko Widodo periode pertama, pemerintah pusat melakukan efisiensi anggaran, mengalihkan program berbasis partisipasi masyarakat seperti P2KP dan PNPM ke program yang lebih terpusat di dinas.

Akibatnya, Kota Sehat versi Sukabumi cenderung bersifat permukaan, tidak menyentuh akar permasalahan kesehatan masyarakat. Faktanya, masyarakat bisa sehat bukan karena program pemerintah, tetapi karena inisiatif mereka sendiri.

Pendekatan yang terlalu birokratis memang menjanjikan akuntabilitas, tetapi pengalaman setelah reformasi menunjukkan bahwa klaim ini sering hanya sebatas retorika. Berbagai kasus kerugian negara di tingkat daerah maupun nasional memperlihatkan bahwa tantangan transparansi dan efektivitas masih besar.

Dampak lainnya adalah disrupsi kebijakan. Setiap pergantian kepala daerah, program lama sering dihentikan meskipun belum selesai, lalu diganti program baru yang belum tentu sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Orientasi pembangunan pun cenderung jangka pendek, mengikuti visi-misi politis kepala daerah terpilih, bukan kebutuhan strategis kota.

Situasi ini menggambarkan paradoks pembangunan daerah, di satu sisi ada semangat inovasi, di sisi lain terjebak dalam pusaran politik praktis. Jika tidak ada reformasi tata kelola yang memisahkan kepentingan teknis dan politis, maka program seperti Kota Sehat akan sulit mencapai dampak jangka panjang

Kang Warsa
Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Informasi Lainnya

Posting Komentar

Berlangganan