-->


Dari Kerkhof ke Santiong

Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Cikundul pada tahun 2010 diperkirakan hanya mampu menampung sampah untuk satu dekade mendatang. Artinya, apabila tidak dilakukan pengelolaan dengan benar dari hulu, maka pada tahun 2020 TPA Cikundul sudah akan penuh sesak dan padat oleh timbunan sampah. Situasi ini jelas menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan layanan persampahan di Kota Sukabumi yang semakin berkembang dan padat penduduk.

Kendala terbesar dalam hilirisasi pengelolaan sampah ini memang kembali pada tingkat kesadaran masyarakat sendiri. Program sebaik dan secanggih apapun yang dirancang oleh Pemerintah Kota Sukabumi tidak akan berjalan optimal apabila tidak selaras dengan pola pikir dan paradigma masyarakat. Penyadaran publik menjadi tantangan yang tak kunjung tuntas.

Sebenarnya masyarakat sudah banyak mengetahui dampak negatif dari membuang sampah sembarangan. Mereka pun telah mengenal anjuran untuk memilah sampah organik dan anorganik, memanfaatkan bank sampah, atau mengurangi sampah plastik. Namun, dalam praktik sehari-hari, budaya masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia belum menempatkan persoalan sampah sebagai prioritas penting saat itu.

Di banyak negara berkembang, kebutuhan dasar masyarakat jauh lebih diutamakan dibanding sekadar urusan sampah. Hal ini tampak misalnya dari fenomena rumah makan, warung, dan lesehan yang semakin menjamur di tahun 2010-an. Warga tampak lebih antusias memenuhi tempat-tempat itu daripada memikirkan masa depan lingkungan atau berpartisipasi dalam aktivitas pemungutan sampah massal.

Pada awal perluasan wilayah, ketika Bacile (Baros, Cibeureum, dan Lembursitu) menjadi bagian dari wilayah administratif Kota Sukabumi, Pemerintah Kota Madya Sukabumi kala itu memutuskan untuk memindahkan lokasi tempat pembuangan akhir sampah dari Kerkhof ke Cikundul. Lokasi TPA sendiri sebenarnya masih masuk wilayah Santiong, sebuah kawasan yang dianggap cocok untuk fungsi pembuangan akhir.

Keputusan memindahkan TPA ini diambil sekitar tahun 1996–1997, beriringan dengan proyek infrastruktur lain yang beririsan dengan upaya penanganan sampah, yakni pelebaran Jalan Santiong dari Tegallaya hingga Cikeong. Jalan ini kini dikenal sebagai Jalan Merdeka dan Jalan Proklamasi. Infrastruktur tersebut dibangun agar akses kendaraan pengangkut sampah menuju Cikundul semakin lancar.

Rata-rata masyarakat saat itu tentu belum sepenuhnya memahami bahwa pembangunan satu hal harus terintegrasi dengan pembangunan hal lainnya. Misalnya, pelebaran jalan tidak hanya mempermudah lalu lintas penduduk tetapi juga mempermudah pengelolaan sampah sebagai bagian dari pembangunan kota yang berkelanjutan.

Pemindahan TPA ini sendiri menjadi bukti bahwa persoalan sampah sudah menjadi masalah serius di Kota Sukabumi sejak akhir dekade 90-an. Seiring bertambahnya populasi dan aktivitas masyarakat, volume sampah kian meningkat. Permasalahan sampah tidak pernah benar-benar selesai meskipun ada pemindahan lokasi pembuangan.

Perluasan wilayah Kota Sukabumi kala itu juga membawa konsekuensi perubahan gaya hidup. Pemerintah harus menggagas pola pikir baru kepada warga Bacile yang sebelumnya beridentitas perdesaan agar menyesuaikan diri dengan pola pikir perkotaan. Sayangnya, program ini tidak berjalan sesuai harapan.

Alih-alih menerapkan perilaku perkotaan yang bersih dan tertib, warga perdesaan yang bergabung menjadi warga kota justru cenderung meniru kebiasaan buruk warga kota. Salah satunya adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan tanpa memilah dan memilih.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat tidak berkaitan mutlak dengan tempat tinggal, apakah di kota atau di desa. Kesadaran sejati lebih ditentukan oleh pemahaman akan sebab-akibat, yakni antara tindakan dengan konsekuensinya.

Artinya, selama masyarakat tidak benar-benar paham dampak dari perilaku mereka sendiri, perubahan budaya membuang sampah dengan benar akan sulit tercapai. Ini menjadi tantangan besar pemerintah dalam mengedukasi masyarakat secara terus-menerus.

Pengelolaan sampah tidak cukup hanya dibenahi dari sisi hilir seperti pembangunan TPA, armada pengangkut, atau pelebaran akses jalan. Pengelolaan sampah justru harus dimulai dari hulu dengan meningkatkan kesadaran, mengubah budaya, dan menumbuhkan tanggung jawab kolektif.

Pengelolaan sampah tidak cukup hanya dibenahi dari sisi hilir seperti pembangunan TPA, penambahan armada pengangkut, atau pelebaran jalan akses menuju lokasi pembuangan akhir. Pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan justru harus dimulai dari hulu melalui peningkatan kesadaran kolektif, perubahan budaya, serta menumbuhkan tanggung jawab bersama.

Upaya ini sejalan dengan teori pembangunan berkelanjutan yang menekankan pentingnya memadukan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan agar tercipta perubahan perilaku yang bertahan lama. Tanpa kesadaran masyarakat, investasi infrastruktur persampahan hanya akan menjadi solusi tambal sulam yang terus mengulang persoalan serupa di masa mendatang.

TPA Cikundul sejatinya hanya menampung hasil akhir dari perilaku sehari-hari masyarakat. Jika perilaku membuang sampah sembarangan tidak berubah, maka seberapa besar pun kapasitasnya tetap akan kewalahan menampung sampah yang terus meningkat setiap tahun.

Pendekatan teknis tanpa diiringi pendekatan sosial budaya tidak akan cukup menekan volume sampah secara signifikan. Oleh karena itu, dibutuhkan gerakan perubahan sosial yang massif, misalnya melalui pemberdayaan komunitas lokal, penguatan peran tokoh masyarakat, hingga edukasi berbasis keluarga agar pola konsumsi dan pembuangan sampah dapat dikendalikan dari sumbernya.

Program-program seperti bank sampah, daur ulang, edukasi sekolah lingkungan, serta gerakan warga peduli sampah sebenarnya sudah berjalan di beberapa wilayah Kota Sukabumi. Namun, penerapan di lapangan sering terbentur persoalan konsistensi, minimnya partisipasi warga, serta tidak adanya monitoring berkelanjutan.

Dalam perspektif sosiologi pembangunan, keberhasilan sebuah program lingkungan sangat bergantung pada jejaring sosial di dalam komunitas, karena solidaritas dan rasa memiliki akan membuat masyarakat lebih peduli menjaga lingkungan sekitarnya. Maka, mengintegrasikan pendekatan komunitas dengan kebijakan pemerintah menjadi kunci penting untuk menciptakan kesadaran kolektif dan kepedulian berkelanjutan.

Di titik ini, ketelatenan bukan hanya diperlukan dari pemerintah sebagai pihak yang menyediakan regulasi dan fasilitas, melainkan juga dari masyarakat sendiri sebagai pelaku utama perubahan. Kesadaran untuk memilah sampah, mengurangi sampah plastik, hingga tidak membuang sampah sembarangan perlu terus ditumbuhkan melalui berbagai medium, baik pendidikan formal, media massa, maupun gerakan komunitas.

Pada akhirnya, tanpa kolaborasi aktif semua pihak, setiap pembangunan TPA baru hanya akan menunda masalah, bukan menyelesaikannya secara menyeluruh. Pendekatan yang menyeimbangkan dimensi teknis, sosial, budaya, dan lingkungan adalah satu-satunya cara untuk menciptakan sistem persampahan yang adil, sehat, dan berkelanjutan.
Kang Warsa
Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Informasi Lainnya

Posting Komentar

Berlangganan