-->


Bulan Bahasa dan Kesadaran Kolektif akan Persatuan

Posting Komentar


Bulan Bahasa biasa diperingati dengan berbagai kegiatan oleh setiap sekolah di Indonesia. Kehadiran peringatan ini tidak lepas dari momentum besar yang digagas oleh para pemuda pada tahun 1928 dalam format Sumpah Pemuda. Saya telah menulis berbagai judul di sejumlah media tentang Sumpah Pemuda, namun mengenai Bulan Bahasa, saya baru menulis sekitar tiga artikel, dan salah satunya adalah tulisan ini.

Berbeda dengan enam unsur kebudayaan lainnya, bahasa merupakan unsur yang paling kentara dan melekat dengan diri seseorang; dengan karakter, logat, serta daerah asal si penutur. Bahkan penuturan dan pelafalan dua bahasa serumpun pun tidak akan dapat menipu telinga komunikan dari mana asal bahasa tersebut dituturkan. Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia adalah contoh nyata; kita dapat menebak siapa orang Indonesia dan siapa orang Malaysia hanya dari cara bertutur mereka.

Dengan Sumpah Pemuda itulah, identitas kebangsaan kita sebagai orang Indonesia menjadi lebih kokoh. Kendati bangsa ini terdiri dari berbagai suku, etnis, bahasa daerah, dan keyakinan, namun semuanya dapat bersatu dalam satu ikatan bahasa, yaitu Bahasa Indonesia. Beragam bahasa daerah memang mengendap dan bermuara pada satu wadah ini. Kita tidak lagi menyebutnya sebagai Bahasa Melayu, meskipun secara historis bahasa persatuan itu memang berakar pada lingua franca Melayu.

Kita juga tidak menyebutnya sebagai Bahasa Jawa, Sunda, atau bahasa daerah lainnya. Menariknya, orang di luar etnis Melayu pun tidak mempermasalahkannya. Hal ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang gemar membangun konsensus dan kesepakatan, bukan bangsa yang mudah terpecah oleh perbedaan. Dari semangat itu pula berbagai ras dan etnis dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi dalam bingkai kebangsaan.

Kita sebagai manusia modern yang telah memasuki milenium kedua tentu tidak mungkin membangun konsensus baru untuk menciptakan bahasa persatuan baru. Di masa kini, tugas kita adalah mengokohkan warisan luhur para pemuda 1928 dengan membangun kembali semangat untuk tetap bersatu melalui Bahasa Indonesia. Sekolah-sekolah di seluruh Nusantara menyelenggarakan berbagai kegiatan, baik formal maupun non-formal, untuk memperingati Bulan Bahasa.

Beragam perhelatan, seperti lomba menulis, membaca puisi, mendongeng, hingga seminar kebahasaan, menjadi upaya kolektif untuk menyadarkan generasi muda, terutama generasi Z, bahwa para pendahulu mereka adalah generasi yang gemar bersepakat, bukan berdebat tanpa arah. Mereka tidak hanya berjuang dengan kata-kata, tetapi juga membangun kesepahaman agar perbedaan menjadi kekuatan, bukan alasan untuk saling menjatuhkan.

Secara formal, bahasa perlu terus dijaga dan dirawat melalui penuturan yang sesuai dengan kaidah PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), yang dahulu dikenal sebagai EYD. Generasi sekarang tidak seharusnya dilepaskan begitu saja, melainkan perlu dibimbing agar bahasa yang mereka gunakan tetap mencerminkan logika dan etika. Meskipun bahasa bersifat cair dan dinamis, penggunaannya harus tetap rasional, komunikatif, dan tidak menimbulkan absurditas.

Bahasa sangat identik dengan rasionalitas. Artinya, melalui kegiatan formal di sekolah seperti seminar, pelatihan menulis, dan tugas membuat makalah, kita sebenarnya sedang membangun ekosistem berpikir yang sehat. Bahasa tidak boleh sekadar dituturkan mengikuti selera penutur, melainkan harus tunduk pada tata logika dan tata etika yang melandasinya. Dengan demikian, bahasa menjadi sarana berpikir yang membebaskan, bukan membingungkan.

SMAN 2 Kota Sukabumi pernah mengundang saya menjadi salah seorang narasumber dalam kegiatan Bulan Bahasa pada Oktober lalu. Saya diminta memberikan pemaparan singkat tentang bagaimana menulis esai yang baik. Alih-alih menyampaikan teori secara kaku, saya memilih pendekatan santai dengan memberikan pemantik bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki kemampuan menulis dan membaca.

Kemampuan ini bukan hanya keterampilan, tetapi bagian dari warisan sosial-kultural dan bahkan genetik manusia. Sejak manusia mengenal simbol dan tulisan di masa lampau, aktivitas membaca dan menulis menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lain di planet ini. Tanpa kemampuan baca-tulis, tidak mungkin terjadi koordinasi sosial, tidak mungkin lahir sistem ekonomi, mata uang, maupun tata pemerintahan seperti sekarang.

Saya mencontohkan bahwa melalui baca dan tulis, manusia dapat menyederhanakan transaksi dengan menciptakan uang sebagai alat tukar. Namun dari situ juga muncul tantangan baru, bagaimana manusia mengelola uang, membelanjakan dengan bijak, dan mengentaskan kemiskinan. Melalui tulisan dan kesadaran berpikir, manusia terus beradaptasi dan akhirnya membangun peradaban yang kompleks seperti saat ini.

Di hadapan para peserta didik SMAN 2 Kota Sukabumi, saya menegaskan bahwa menulis dan membaca merupakan dua sisi dari satu kegiatan intelektual yang beriringan. Semakin banyak membaca, maka kegiatan menulis akan terasa lebih ringan, karena bahan baku tulisan adalah kosa kata. Perbendaharaan kata hanya bisa diperoleh melalui aktivitas membaca yang berkelanjutan.

Saya juga mengutip René Descartes, seorang filsuf Prancis, bahwa Discourse on the Method dan Meditations on First Philosophy ditulis setelah bertahun-tahun menyendiri dan merenung. Dari kisah itu, saya menyampaikan bahwa dua hal penting sebelum menulis adalah membaca dan merenung. Membaca memperkaya wawasan, sedangkan merenung memperdalam pemahaman dan menjaga agar logika berpikir tetap jernih.

Dengan membaca dan merenung, seseorang akan mampu menulis dengan bahasa yang teratur, bernalar, dan beretika. Untuk konteks Indonesia, selain logika, etika berbahasa menjadi aspek penting yang harus dijaga. Sebab dalam bahasa, tersimpan nilai-nilai kesantunan, kearifan, dan identitas kebangsaan yang tidak hanya mencerminkan intelektualitas, tetapi juga karakter bangsa.
Kang Warsa
Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.
Terbaru Lebih lama

Informasi Lainnya

Posting Komentar

Berlangganan