
Anak-anak hingga remaja Sukabumi tahun 80–90-an akan dipandang belum jauh bermain ketika belum pernah menginjakkan kaki mereka di dua tempat, yaitu Capitol Plaza dan Shopping Center. Empat dekade lalu, kedua tempat ini, selain sebagai pusat perbelanjaan dan hiburan, juga telah menjadi ruang publik warga Sukabumi dan menjadi barometer sejauh mana seseorang sudah mengenal kota.
Bahkan di kalangan anak-anak, Capitol dan Shopping menjadi semacam ritual awal kedatangan ke pusat kota yang akan diceritakan ulang setelah kembali ke kampungnya. Capitol mungkin telah berusia sembilan dekade, sebanding dengan usia kakek dan buyut yang mebawa bangsa ini ke alam kemerdekaan.
Ia telah menjadi ikon Kota Sukabumi sebelum gempuran teknologi benar-benar merontokkan sendi-sendi aktivitas publik dan merumahkan warga. Namun warga kota juga telah memiliki cara baru dalam menata diri mereka, meregenerasi ruang publik yang layak, dan membentuk ruang-ruang interaksi yang sesuai dengan zaman.
Walakin, pertanyaanya: mampukah kita menghidupkan kembali Capitol dan Shopping Center sebagai ruang kolektif yang bermakna? Capitol pernah menyematkan dirinya dengan kata Plaza yang secara harfiah tidak tepat disematkan pada sebuah bangunan tertutup.
Namun mengingat Capitol saat itu menjadi tempat perbelanjaan dan tempat berkumpul, pengelolanya seakan memiliki legitimasi untuk menyematkan kata plaza. Plaza seharusnya bermakna ruang terbuka luas yang menjadi titik temu warga, seperti yang kini disematkan pada Plaza Balai Kota Sukabumi. Walaupun, secara fungsi, pemberian nama tersebut juga belum seutuhnya tepat mengingat aktivitas publik di sana belum sepenuhnya menggeliat, kecuali di sore hari di area pedestrian Jalan Ir. H. Juanda.
Kedua tempat tersebut pernah memiliki fasilitas yang membuatnya lebih dari sekadar lokasi transaksi ekonomi: bioskop. Bioskop Capitol dan Shopping Center biasanya penuh saat perayaan Lebaran atau Sabtu-Minggu. Sayangnya, di awal tahun 90-an, genre film yang ditayangkan bergeser ke arah eksploitasi tubuh dan sensualitas. Ini menggerus citra bioskop sebagai ruang seni dan hiburan keluarga. Judul-judul dan poster film dewasa dipajang terbuka, menyapa warga yang bahkan tak berkeinginan menonton, termasuk anak-anak.
Fenomena ini tentu menimbulkan kegelisahan. Apakah masyarakat Sukabumi sebagai bagian dari “kota santri” bersikap apatis saat itu? Atau memang budaya urban dengan norma individualistik sudah terinternalisasi hingga membiarkan realitas itu berlalu begitu saja? Kumandang adzan dan tayangan poster film panas bersahutan tanpa ironi. Ini menjadi paradoks moral yang melekat di masa itu.
Saya tidak anti seni. Namun seni yang mempertontonkan vulgaritas bukanlah seni. Kadang kita terjebak dalam dalih bahwa karya seni klasik seperti patung telanjang ala Renaissance bisa disamakan dengan adegan erotis.
Itu kekeliruan besar. Karya seperti patung Apollo menculik Persephone adalah wujud kemuliaan estetika, bukan semata adegan biologis yang bisa direka bahkan oleh ayam jantan dan betina di halaman rumah.
Dalam perspektif sosial, kondisi bioskop di Indonesia kala itu, termasuk di Sukabumi, menunjukkan degradasi nilai. Para sineas, secara tidak sadar, menggali kubur bagi ruang pertunjukan. Lima tahun setelah era itu, sinema nasional mengalami stagnasi. Dunia film dan musik seakan lumpuh, dan bioskop-bioskop tradisional satu per satu gulung tikar.
Ingatan kolektif tentang Capitol dan Shopping mulai menguap. Kehadiran pusat-pusat perbelanjaan baru yang hanya berfungsi sebagai tempat jual-beli, bukan ruang publik, mengubah wajah kota. Era 2000-an menjadi titik awal konsumerisme.
Orang mulai terbiasa dengan sistem harga tetap dan kasir. Konsep tawar-menawar dan kedekatan emosional dengan pedagang yang dulu menjadi ciri khas, tergantikan oleh sistem steril dan serba cepat.
Kita telah mengganti interaksi dengan efisiensi. Tak ada lagi ruang untuk bercakap santai dengan pemilik toko atau sekadar bersenda gurau dengan penjaga konter. Shopping dan Capitol perlahan menyerupai deretan toko-toko yang berada di sepanjang Jalan A. Yani.
Tidak ada lagi keistimewaan ruang, hanya bangunan dengan antivitas bisnis biasa dengan jejak sejarah yang perlahan terhapus dari ingatan.
Kini muncul pertanyaan baru: dapatkah berbagai program yang digagas oleh pemerintah melalui pendekatan pentahelix benar-benar membuka kembali ruang publik sebagaimana Capitol dan Shopping dahulu? Ataukah semua itu hanya jargon kosong dari lembaran dokumen perencanaan strategis kota? Kita tidak butuh sekadar “mimpi besar”, tetapi langkah kecil yang konkret dan berdampak.
Pemerintah Kota Sukabumi harus mampu membaca ikatan organis antara ruang-ruang lama dengan jiwa masyarakat. Kota ini tidak bisa dibangun oleh orang yang hanya memegang jabatan strategis tetapi tidak memiliki keterikatan emosional dengan tempat-tempat bersejarah. Mereka hanya akan memandang tempat sebagai “proyek”, bukan sebagai denyut kehidupan masyarakat.
Ruang publik tak bisa dibangun secara instan. Ia memerlukan waktu, sejarah, dan ikatan. Capitol dan Shopping memiliki itu semua. Mereka adalah ruang yang membentuk identitas kolektif warga. Revitalisasi tempat-tempat ini harus dilandasi oleh pemahaman bahwa ruang tidak hanya memfasilitasi ekonomi, tetapi juga membentuk kebudayaan dan nilai.
Langkah awal mungkin dapat dimulai dari dialog dengan warga, mendengar cerita mereka tentang Capitol dan Shopping. Menjadikan ingatan kolektif sebagai bahan dasar desain ulang ruang kota. Seperti taman yang ditata ulang bukan hanya untuk estetika, tetapi agar anak-anak bisa berlari bebas, orangtua duduk tenang, dan remaja bercengkerama tanpa rasa asing.
Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Pendekatan pentahelix yang melibatkan akademisi, komunitas, pengusaha, media, dan pemerintah harus benar-benar dijalankan. Tidak hanya dijadikan istilah teknokratis, tetapi benar-benar menjadi jembatan kolaborasi. Masyarakat punya hak untuk menentukan wajah kotanya sendiri.
Jika Capitol dan Shopping hanya dihidupkan kembali sebagai pusat ekonomi, maka kita gagal memahami hakikat sejarah mereka. Kita kehilangan peluang membangun ruang yang membentuk makna. Kembali menghidupkan Capitol dan Shopping seharusnya berarti membuka kembali ruang pertemuan, interaksi, dan keintiman warga dengan kotanya.
Generasi baru Sukabumi mungkin tak mengenal Capitol dan Shopping sebagaimana generasi sebelumnya. Tapi mereka berhak mendapatkan ruang yang sama bernilai, ruang yang memungkinkan mereka menulis sejarahnya sendiri. Tugas kita adalah menjembatani masa lalu dan masa depan itu dengan kebijakan yang bijak dan peka.
Jika ikhtiar ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, Capitol dan Shopping tidak hanya akan menjadi ruang arsitektural, tetapi ruang memori yang hidup kembali. Ia akan menjadi penanda bahwa sebuah kota kecil pun bisa bangkit dari sejarahnya, menyongsong masa depan dengan martabat dan kesadaran ruang yang otentik.
Posting Komentar
Posting Komentar