
Aku ragu, maka aku berpikir, maka aku (menjadi) ada
Kemajuan kecerdasan buatan telah membawa transformasi signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Namun, di balik segala kemudahan yang ditawarkan, terdapat risiko besar jika kita terlalu menggantungkan nasib masyarakat pada sistem algoritmik semata.
Tulisan singkat ini bermaksud mengajak untuk memahami peran AI sebagai alat bantu yang tetap menempatkan manusia sebagai pelaku utama dalam proses pengambilan keputusan publik.
Peran AI dalam kebijakan publik sebenarnya menawarkan banyak kemudahan. Kemampuannya menganalisis data dalam skala besar dan kecepatan tinggi memungkinkan pemerintah mengidentifikasi masalah dengan lebih akurat.
Di bidang kesehatan, algoritma dapat membantu memprediksi penyebaran penyakit. Dalam perencanaan kota, sistem cerdas dapat merancang transportasi yang lebih efisien.
Walakin, sejarah telah membuktikan bahwa teknologi tanpa kendali sering kali berujung pada masalah kemanusiaan. Kasus di Belanda menjadi contoh nyata, di mana sistem algoritma untuk mendeteksi penipuan tunjangan sosial justru banyak menyasar kelompok marginal secara tidak adil dan diskriminatif.
Ada beberapa ancaman serius jika penerapan AI dalam kebijakan publik dilakukan tanpa pertimbangan matang. Pertama, demokrasi bisa tergerus secara perlahan. Kebijakan publik pada hakikatnya adalah hasil negosiasi nilai-nilai dalam masyarakat, bukan hanya kalkulasi matematis. Jika proses pengambilan keputusan diserahkan sepenuhnya kepada mesin, ruang partisipasi publik akan menyempit.
Kedua, masyarakat bisa menjadi kelinci percobaan. AI bekerja berdasarkan pola data masa lalu, sementara masyarakat terus berkembang dinamis. Pengalaman penggunaan AI untuk memprediksi tindak kriminal di beberapa negara justru memperkuat stereotip yang merugikan kelompok tertentu.
Ketiga, muncul krisis tanggung jawab. Ketika terjadi kesalahan dalam kebijakan berbasis AI, menjadi sulit menentukan siapa yang harus bertanggung jawab.
Untuk mencegah berbagai risiko tersebut, diperlukan prinsip-prinsip dasar dalam pemanfaatan AI. Manusia harus tetap menjadi penentu akhir dalam setiap keputusan kebijakan.
AI boleh digunakan untuk menganalisis data, tetapi keputusan final harus melalui pertimbangan manusia yang memperhatikan aspek empati, kearifan lokal, dan mekanisme banding bagi masyarakat yang dirugikan.
Transparansi juga menjadi hal yang mutlak diperlukan. Setiap penggunaan AI dalam kebijakan publik harus disertai penjelasan terbuka tentang cara kerja algoritmanya, audit independen oleh berbagai pakar, dan pelibatan masyarakat dalam uji coba terbatas sebelum implementasi penuh.
Beberapa negara telah mulai menerapkan langkah-langkah preventif dalam penggunaan AI. Finlandia memberikan pelatihan dasar AI kepada sebagian warganya agar bisa mengawasi penerapannya oleh pemerintah.
Kanada memiliki aturan khusus yang mewajibkan evaluasi dampak sosial sebelum menggunakan sistem otomatis. Rwanda memanfaatkan drone berbasis AI untuk mengirim obat-obatan, tetapi keputusan alokasi tetap berada di tangan tenaga medis manusia.
Untuk konteks Sukabumi, beberapa langkah strategis bisa dipertimbangkan. Penyusunan panduan etik tentang penggunaan AI yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan menjadi kebutuhan mendesak. Pembentukan lembaga pengawas khusus yang menangani keluhan terkait kebijakan berbasis AI juga penting untuk melindungi hak-hak masyarakat.
Di sisi lain, gerakan penyadaran tentang peran manusia dalam teknologi perlu digalakkan, menekankan bahwa AI seharusnya memperkuat nilai-nilai gotong royong dan keadilan sosial yang menjadi dasar bangsa ini.
Kecerdasan buatan hanyalah alat, bukan untuk meninabobokan kita dan menjadi benar-benar tergantung pada mesin hingga mengabaikan keunikan manusia sebagai makhluk yang berpikir.
Seperti pisau yang bisa digunakan untuk memotong sayuran atau melukai orang, semuanya tergantung pada tangan yang menggunakannya.
Kebijakan publik pada hakikatnya adalah seni mengelola peradaban, dan peradaban hanya akan maju ketika teknologi tetap tunduk pada pertimbangan kemanusiaan.
Kita memang membutuhkan mesin cerdas, namun kebijaksanaan dalam diri manusia menjadi penentu peradaban besar masa depan.
Posting Komentar
Posting Komentar