
Pagi masih menggigit, meski deru kendaraan di Jalan Lingkar Selatan seperti biasa sudah menghidupkan suasana. Gedung Hj. Kusmiati, tempat digelarnya Safari Dakwah, masih tampak lengang tanpa hiruk-pikuk acara.
Namun di halaman, para pelaku usaha mikro kecil dan menengah telah bersiap menempati lapak-lapak yang disediakan panitia untuk bazar. Safari dakwah ini digagas oleh Komunitas Muslimah Sukabumi, dengan salah satu tujuannya menumbuhkan solidaritas bagi saudara-saudara kita di Palestina.
Saya sendiri sudah dua kali ditugaskan untuk meliput kegiatan kemanusiaan bertema Palestina, baik pada pekan sebelumnya maupun hari ini. Biasanya kegiatan semacam ini juga dihadiri oleh Wakil Wali Kota Sukabumi sebagai bentuk kepedulian pemerintah daerah terhadap peristiwa global yang menimpa umat Islam di sana. Perlahan, mobil dan motor mulai mengisi area parkir, sementara para peserta, mulai dari santri berusia 10 hingga 18 tahun, hingga ibu-ibu majelis taklim, mulai berdatangan.
Menariknya, acara solidaritas ini menghadirkan Opick, penyanyi religi yang populer dengan lagu “Tombo Ati”, untuk menambah semangat para peserta. Udara pukul 7.30 terasa tidak biasa, matahari masih bersembunyi di balik awan tipis berwarna hitam. Bagi saya ini pertanda baik, sebab setidaknya kegiatan akan berjalan tanpa cuaca yang terlalu panas.
Kegiatan safari dakwah semacam ini memang menjadi ruang ekspresi empati umat Islam Sukabumi kepada saudara-saudara mereka di Palestina. Saya sendiri sering mencoba memandangnya dari banyak perspektif agar tidak sekadar terbawa arus. Betapa anak-anak Palestina, misalnya, hidup di antara debu, puing-puing, reruntuhan bangunan, dengan kesehatan yang rawan terganggu, dan kesempatan pendidikan yang nyaris tak terbuka.
Di saat anak-anak Palestina berjuang bertahan di tengah derita, anak-anak kita di sini bisa bermain di lapangan, bersenda gurau, atau asyik menatap layar gawai dari pagi hingga malam. Ironis memang, apalagi ketika kita membicarakan nasib mereka hanya dari kedai kopi atau kafe mewah sambil menyeruput minuman hangat dan menyantap makanan lezat.
Sering pula kita menuliskan status di media sosial tentang kelaliman zionis, tanpa sadar menikmati jarak aman yang memisahkan kita dari penderitaan mereka. Walakin, Saya kira, ini hal wajar selama kita tetap menaruh rasa empati yang jujur dan menolak segala bentuk penindasan yang merusak nilai kemanusiaan.
Sekecil apa pun tindakan kita, seperti safari dakwah ini, tetap bermakna besar dalam mendukung perdamaian dunia. Kita mesti sadar bahwa penderitaan adalah siklus sejarah yang berulang: di era 1940-an, kakek dan nenek kita merasakan pahitnya masa pendudukan Jepang. Kini, anak-anak Palestina menjalani penderitaan serupa, hanya zaman dan pelaku yang berbeda.
Meskipun hidup kita sekarang juga diwarnai banyak ketidakpastian, paling tidak kita masih memiliki kesempatan makan, belajar, dan menikmati fasilitas hidup yang layak. Rasa syukur atas nikmat inilah yang semestinya menjaga hati kita agar tidak mudah berkhianat pada nilai kemanusiaan.
Sesungguhnya, dunia akan damai hanya jika diisi manusia-manusia yang tahu bersyukur. Keserakahan kaum zionis yang menindas rakyat Palestina lahir dari sikap yang memuja tumpukan atribut dunia semata, meminggirkan nilai spiritualitas, dan akhirnya menumpulkan rasa kasih sayang pada sesama.
Mereka mengklaim sebagai manusia beragama, tetapi perilaku mereka bertolak belakang dengan nilai agama yang mengutamakan keadilan dan kedamaian. Sebab itu, penting bagi kita di sini terus menumbuhkan solidaritas, sekecil apa pun langkahnya, agar nilai kemanusiaan tetap dijaga.
Safari dakwah ini adalah simbol bahwa umat Islam masih peduli, masih mau berbagi rasa dan semangat untuk saudara-saudaranya yang tertindas. Ini adalah bentuk syiar sekaligus wujud keteguhan hati dalam menolak kezaliman.
Saya melihat sendiri bagaimana para santri, ibu-ibu majelis taklim, hingga artis religi bersatu di bawah satu atap demi menyalakan api solidaritas. Ini bukan hanya soal uang atau bantuan materi, tetapi soal merawat nurani agar tidak mati.
Bagi anak-anak Palestina, setiap doa dan dukungan moral dari kita bisa berarti harapan. Dan bagi kita sendiri, kegiatan seperti ini adalah cara agar tidak kehilangan rasa syukur dan tetap berempati meskipun dunia terus berubah.
Saya harap, safari dakwah ini menjadi inspirasi agar di masa depan kita tidak sekadar bersuara di media sosial, melainkan benar-benar hadir, setidaknya dengan doa, edukasi, dan gerakan konkret,untuk perdamaian dunia yang lebih beradab.
Posting Komentar
Posting Komentar