Pendidikan yang Berubah-ubah dan Jalan Hidup yang Tidak Pernah Lurus



Entah apa yang ada di dalam pikiran manusia, terutama para pemangku kepentingan negara ini pada dekade terakhir kepemimpinan Soeharto. Di bidang pendidikan, misalnya, terjadi perubahan nomenklatur yang cukup mendasar.

SMA diubah menjadi SMU atau Sekolah Menengah Umum dengan alasan bahwa di jenjang inilah siswa dibekali ilmu pengetahuan umum. Pada saat yang sama, STM, SMEA, dan sekolah-sekolah yang berorientasi vokasi diganti menjadi SMK atau Sekolah Menengah Kejuruan.

Perubahan penamaan tersebut ternyata tidak berhenti pada soal istilah semata. Dampaknya merambat ke aspek administratif, kebijakan, hingga berbagai detail teknis di lingkungan sekolah. Salah satu contoh yang cukup terasa adalah perubahan sistem pembelajaran dan lama belajar.

Sebelumnya, pendidikan menengah atas menggunakan sistem semester dengan durasi enam bulan. Setelah berganti menjadi SMU, diterapkan sistem caturwulan atau empat bulanan, sehingga dalam satu tahun pelajaran siswa menerima rapor sebanyak tiga kali.

Perubahan sistem ini tentu menuntut sekolah untuk beradaptasi, terutama dalam hal metodologi pembelajaran dan penyusunan materi ajar. Pada masa itu, muncul rasa tercengang melihat bagaimana sebuah sistem yang sebelumnya tampak mapan pada akhirnya harus berubah juga.

Hal tersebut seolah menegaskan bahwa bangsa yang masih merangkak menuju kemajuan cenderung mengikuti arus zaman dan tren, kadang tanpa perhitungan matang terhadap biaya sosial maupun dampak yang ditimbulkan.

Dari titik inilah muncul kesadaran lain dalam pikiran saya, bahwa ketidakajegan tampaknya telah menjadi ciri sistem yang dibangun oleh para pemangku kepentingan di negeri ini.

Fakta sejarah pendidikan menunjukkan bahwa SMU yang sempat digadang-gadang sebagai format ideal akhirnya kembali menjadi SMA dengan sistem penjurusan. Pada fase berikutnya, sistem itu kembali diubah menjadi pola peminatan seiring pergantian kurikulum yang nyaris tidak pernah berhenti.

Dalam konteks kehidupan sekolah sehari-hari, dinamika tersebut berkelindan dengan tradisi pengambilan rapor. Pada semester atau caturwulan pertama, rapor umumnya harus diambil oleh orangtua siswa. Selain sebagai sarana komunikasi antara sekolah dan orangtua, momen ini juga menjadi cara memperkenalkan lingkungan sekolah kepada keluarga siswa.

Bagi siswa yang berperilaku lurus-lurus saja, kehadiran orang tua ke sekolah tidak menimbulkan kegelisahan. Sebaliknya, bagi siswa tipe UNIKO yang gemar menggunakan uang SPP untuk jajan, momen ini kerap memicu kegundahan karena kesalahan kecil mereka segera terkuak.

Pengalaman pribadi saya berada di luar kategori itu. Kendati pernah terlambat membayar SPP, saya tidak pernah menggunakan uang tersebut untuk keperluan lain. Oleh karena itu, saya tidak termasuk siswa yang harus berdebar menunggu hukuman sepulang sekolah.

Walakin, kisah ini bukan dimaksudkan untuk menghakimi atau mempermalukan siapa pun, melainkan untuk menegaskan bahwa perjalanan hidup manusia tidak selalu lurus dan hitam-putih. Proses pendewasaan sering kali berlangsung melalui jalur yang berliku.

Dari pengalaman sekolah itulah muncul pertanyaan reflektif yang sering mengemuka, mengapa sebagian teman yang dulu dicap nakal justru di masa kini terlihat lebih berhasil dibanding mereka yang dikenal saleh dan baik?

Jika cara berpikir kita terlalu linear, pertanyaan ini mudah disederhanakan menjadi soal takdir. Padahal, kehidupan yang kompleks tunduk pada hukum pluralitas, bukan garis lurus sebab-akibat yang sederhana.

Seorang anak yang dianggap bermasalah di masa sekolah dapat saja menjadi CEO perusahaan besar bukan karena kebetulan, melainkan melalui perjalanan panjang yang tidak selalu tercatat dan terlihat. Jika kebaikan selalu diasumsikan langsung berbuah kebaikan, maka kenyataan hidup sering kali membantahnya.

Momentum kebaikan dan balasannya tidak selalu hadir secara bersamaan. Bisa jadi seseorang menjadi baik hari ini justru karena pernah keliru di masa lalu, dan balasan dari kesalahan itu bukan hadiah, melainkan proses pendewasaan itu sendiri.

Pada akhirnya, kisah perjalanan manusia tidak berhenti pada satu ruang dan satu waktu kehidupan saja. Terlalu sempit jika kehidupan disederhanakan dalam satu lintasan moral tunggal.

Kompleksitas ini menunjukkan bahwa kehidupan bergerak dalam banyak lapis dan dimensi yang saling berkelindan. Maka, dalam kesadaran itulah, terucaplah penghormatan kepada Dia yang mengatur dan mengurus seluruh alam dalam bingkai ayat: Alhamdulillaahi Rabbil ‘Alamiin...

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak