-->


Kurban: Antara Tradisi, Tafsir, dan Kemanusiaan

Saya jarang menulis tentang Iduladha. Kalaupun pernah, itu hanya sebatas mengupas perihal Kabah, Ibrahim, atau momen peristiwa haji. Tidak seperti Idulfitri yang memberikan motivasi bagi saya untuk menuliskannya hingga 33 bagian dalam satu Ramadan.

Dari hari pertama puasa sampai hari ketiga lebaran, lengkap dengan tradisi dan kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat Nusantara. Hampir setiap tahun, saya menulis tidak kurang dari 30 artikel tentang puasa dan Idulfitri.

Tahun ini, Iduladha 1446 H, saya ingin mencoba menuliskannya dari sisi lain: dari pengalaman tradisi, kebiasaan yang membentuk pola hidup masyarakat, hingga polemik lintas agama yang terus menjadi perbincangan namun tak kunjung usai.

Salah satu bahasan yang akan saya kupas adalah perdebatan antara umat Islam dan Kristen mengenai siapakah anak Ibrahim yang diperintahkan untuk disembelih: Ishak atau Ismail?

Perdebatan ini sebenarnya telah berlangsung selama ribuan tahun, dan menjadi bagian dari perbedaan tafsir antara tiga agama samawi: Yudaisme, Kristen, dan Islam. Tradisi Yudaisme dan Kristen cenderung mengacu pada Ishak sebagai anak yang diperintahkan untuk disembelih, sebagaimana tertulis dalam Kejadian 22: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak."

Namun di sisi lain, umat Islam, berdasarkan tradisi lisan dan penafsiran para ulama, meyakini bahwa yang dimaksud adalah Ismail. Al-Quran sendiri tidak secara eksplisit menyebut nama anak tersebut, hanya menekankan bahwa Ibrahim mendapat perintah melalui mimpi, lalu mempersiapkan anaknya yang saleh untuk menjalankan titah Allah.

Kedua perspektif ini, dalam praktiknya, sering kali berbenturan karena lebih banyak dipengaruhi oleh subjektivitas sempit daripada semangat mencari kebenaran bersama. Masing-masing penganut agama merasa harus membela tafsir mereka sendiri, seolah keselamatan iman tergantung pada nama anak yang nyaris disembelih itu.

Padahal, baik dalam Bibel maupun Quran, fokus utama dari kisah ini bukanlah siapa yang disembelih, melainkan apa makna dari kesediaan untuk tunduk pada perintah Tuhan, dan bagaimana pengorbanan manusia digantikan oleh hewan sebagai bentuk penghentian praktik pengorbanan manusia.

Toh, pada akhirnya, baik Ishak maupun Ismail tidak benar-benar disembelih. Perintah itu dibatalkan oleh Tuhan. Ini menunjukkan bahwa pengorbanan manusia kepada Tuhan hanya ujian keimanan yang kemudian dilampaui oleh kemurahan dan kasih Tuhan sendiri.

Inilah yang semestinya menjadi pelajaran utama: bahwa sebesar apapun devosi kita kepada Tuhan, tidak boleh sampai menafikan atau mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

Maka, memperdebatkan dengan amarah dan ego semata apakah Ishak atau Ismail yang hendak disembelih, sejatinya sama seperti menyembelih diri sendiri. Karena sikap demikian hanya akan mengaburkan esensi utama dari peristiwa itu sendiri.

Yang menjadi persoalan adalah bahwa baik nama Ishak maupun Ismail dalam kisah ini bukanlah wahyu itu sendiri, melainkan bagian dari interpretasi atau penafsiran atas wahyu. Dan di sinilah letak pentingnya memahami batas antara wahyu, tafsir, dan tradisi.

Peristiwa penggantian korban manusia oleh hewan dalam kisah ini sesungguhnya adalah tonggak penting dalam sejarah kemanusiaan. Ini merupakan tanda peralihan dari era dehumanisasi, ketika manusia mengorbankan sesamanya atas nama Dewa-Dewi, menuju era pengutamaan nilai-nilai kehidupan.

Dulu, di banyak budaya kuno, praktik menumbalkan manusia merupakan hal yang lazim. Kisah Ibrahim justru menandai bahwa agama hadir untuk menghentikan praktik itu, bukan melegitimasinya.

Sayangnya, semangat kemanusiaan dalam kisah ini sering luput dari perhatian karena tertutup oleh debat nama, simbol, dan kepentingan identitas. Ketika kita bersikeras pada tafsir sempit dan menolak dialog terbuka, maka yang terjadi bukanlah perayaan spiritual, melainkan kompetisi simbolis yang menjauhkan kita dari substansi ajaran.

Kita juga sering mengalami hal ini, terlalu terjebak dalam mempertahankan posisi, hingga lupa bahwa nilai dari kurban bukan pada kambing, sapi, atau kerbau yang disembelih, melainkan pada sejauh mana kita mampu menyembelih ego, amarah, dan hawa nafsu yang bersemayam dalam diri. Iduladha sebaiknya menjadi momen refleksi, bukan sekadar ritual pengulangan tanpa kesadaran.

Sudah saatnya kita membuka ruang dialog antariman dengan lebih jernih, tidak dengan semangat memenangkan argumen, tetapi dengan semangat memahami konteks dan esensi spiritualitas yang lebih luas. Peneguhan identitas agama tidak harus dilakukan dengan cara menafikan kebenaran orang lain. Justru dalam perbedaan tafsir itulah, kita bisa belajar tentang keluasan rahmat Tuhan.

Perayaan kurban, dalam banyak budaya, juga berkaitan dengan musim panen dan rasa syukur. Dalam tradisi Kristen dan Yudaisme dikenal istilah "korban bakaran", sedangkan dalam Islam dikenal sebagai "udhiyyah" atau penyembelihan kurban. Meski berbeda istilah dan simbol, hakikatnya sama, sebagai bentuk penyerahan diri kepada Tuhan dan kepedulian terhadap sesama.

Baik Ishak maupun Ismail adalah anak Ibrahim, dan keduanya menjadi bagian dari sejarah keimanan umat manusia. Menyederhanakan peristiwa itu hanya menjadi kompetisi identitas adalah pengingkaran terhadap pesan universal yang terkandung di dalamnya.

Apa yang sesungguhnya kita rayakan dalam Iduladha adalah kemerdekaan batin, saat manusia mampu melepaskan keterikatan duniawi, egoisme, dan bahkan ikatan biologis paling dalam, demi menjalankan perintah Tuhan dengan sepenuh hati.

Semoga kita mampu menjalani hari-hari kurban ini bukan hanya dengan kambing dan sapi, tapi juga dengan pengorbanan batin yang nyata, dalam bentuk kasih, empati, dan penghentian segala bentuk kekerasan atas nama agama. Karena pada akhirnya, bukan soal siapa yang disembelih, melainkan siapa yang mau mengecilkan bahkan menyembelih egonya.
Kang Warsa
Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Informasi Lainnya

Posting Komentar

Berlangganan